Secara normatif, konsumen Indonesia begitu disanjung. Diposisikan bak raja, dan diberikan hari khusus untuknya. Tak tanggung-tanggung, ada tiga hari untuk konsumen, pertama hari hak konsumen sedunia yang selalu diperingati setiap 15 Maret. Kedua, era kepemimpinan SBY menerbitkan Keputusan Presiden No. 13 Tahun 2012 tentang Hari Konsumen Nasional (20 April). Tak cukup sampai disitu, konsumen (dengan sebutan lain -- pelanggan) disanjung oleh produsen dengan menetapkan 4 September sebagai hari pelanggan nasional. Kurang hebat apa coba?.
Namun secara faktual jauh panggang dari api. Konsumen adalah raja hanya isapan jempol. Â Tiga hari istimewa bagi konsumen hanyalah seremonial belaka, yang akan berakhir sebagai perayaan saja, tanpa meninggalkan jejak dalam upaya perlindungan konsumen Indonesia. Hak-hak sebagai konsumen tetap harus direbut, jika tidak ingin terongok di tong sampah. Contoh konkrit pengabaian hak konsumen adalah hak atas informasi yang jelas benar dan jujur (pasal 4 huruf c). Iklan produk rokok adalah contoh paling nyata. Tak hanya memberikan informasi keliru, tetapi telah menyesatkan konsumen melalui ilustrasi yang bertolak belakang dengan produk yang diiklankan. Kesan macho, keren, semangat dan ekslusif berbanding terbalik dengan realita dampak mengonsumsi produknya.
Celakanya, agresivitas industri rokok memasarkan produk justru difasilitasi oleh negara dalam bentuk kebijakan. Layaknya tidak mengerti dampak iklan, komitmen pemerintah sangat lemah dalam pengendalian konsumsi rokok.
Secara nasional, tak secuilpun peraturan yang melarang iklan rokok di Indonesia, kecuali jam tayang siaran di media elektronik yang diatur. Itupun masih kerap diakali dengan bungkus iklan korporat. Sementara di media cetak, online dan luar ruang tidak ada aturan yang jelas. Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan, bahkan mengakomodir iklan luar ruang hingga seluas 72m! (pasal 31).
Sebagai acuan pelaksanaan dari Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, dalam hal iklan, PP No. 109 Tahun 2012 tidak lebih baik dari PP No. 81 Tahun 1999 tentang Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan pada masa pemerintahan Presiden BJ Habibie. Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 1999 ini membatasi iklan rokok hanya boleh di media cetak dan media luar ruang saja. Sayang, Peraturan Pemerintah ini akhirnya diamandemen seiring surutnya kepemimpinan Habibie.
Lemahnya pemerintah meregulasi iklan rokok, dimanfaatkan betul oleh industri untuk pencitraan bahwa merokok seolah aktivitas normal yang keren, berjiwa petualang dan penuh tantangan. Citra ini menjadi indikasi kuat bahwa iklan rokok sangat rakus menyasar kelompok anak dan remaja. Bukan tanpa alasan jika kelompok tersebut sasarannya. Merekalah pewaris investasi masa depan sekaligus pelanggeng industri tembakau. Tanpa regenerasi perokok, bisnis nikotin akan gulung tikar. Tak pelak, iklan dikemas sedemikian kreatif dengan memutar balikkan fakta.
Nafsu menggaet kelompok remaja juga nampak dari model sponsorship yang digelontorkan industri rokok. Contoh telanjang adalah sponsorship penyelenggaraan festival musik. Bagi kalangan muda, festival musik tentulah acara yang sangat menggairahkan. Mereka bertemu dengan teman-teman sehobi, iringan musik, gadis-gadis cantik atau lelaki tampan, dan tentu saja rokok murah bahkan gratis. Itu cukup menjadi pemikat remaja memasuki dunia adiksi nikotin.
Industri rokok juga memanfaatkan event olah raga untuk menjaring pangsa pasar anak dan remaja. Terlalu mudah menyebut jenis olahraga seperti sepak bola, badminton, balap motor dan futsal berbau asap rokok. Jenis olah raga tersebut memiliki penggemar yang teramat banyak dari kelompok remaja. Munculnya kompetisi olahraga dengan embel-embel merek/perusahaan rokok bukanlah sebuah kebetulan, tetapi menjadi strategi industri untuk mendekatkan pangsa pasar mereka, yaitu kelompok anak dan remaja.
Ketentuan dari pasal 113 Undang-undang No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang menyatakan bahwa tembakau dalam rokok dinyatakan sebagai zat adiktif yang peredarannya perlu diatur, tidak cukup kuat  mengendalikan peredarannya. Bisa jadi karena Indonesia sebagai satu-satunya negara di Asia Pacific yang belum meratifikasi konvensi kerangka kerja untuk pengendalian tembakau (Framework Convention on Tobacco Control/FCTC), yang salah satu pasalnya mengatur tentang promosi dan iklan rokok.
Dalam hal larangan iklan rokok, Indonesia jauh tertinggal dari Thailand, Malaysia, Vietnam, Filipina bahkan Kamboja. Negara-negara ASEAN secara lebih maju telah melarang iklan di luar ruang, media cetak, televisi, radio, dan di tempat penjualan. Negara seperti Thailand, bahkan telah melarang iklan tidak langsung (iklan korporat) industri rokok.
 Larangan Parsial
Jika Indonesia memiliki kemauan politik untuk melindungi generasi muda dari paparan rokok dan adiksi nikotin, sudah saatnya pemerintah melakukan tindakan lebih serius untuk mengendalikan peredaran rokok, termasuk melarang segala bentuk iklan yang terbukti memacu perokok baru serta menerapkan secara ketat kawasan tanpa rokok.
Data dari Komnas Perlindungan anak melansir, bahwa 46,3 persen remaja berpendapat bahwa iklan rokok memiliki pengaruh besar untuk memulai aktivitas merokok. Dan 41,5 persen menganggap keterlibatan kegiatan yang disponsori oleh industri rokok memiliki pengaruh untuk mulai merokok. Sungguh sangat besar dampak yang muncul dari paparan iklan rokok.
Sudah saatnya Indonesia melarang total iklan, sponsorship dan promosi rokok. Larangan hanya akan efektif jika dilakukan secara menyeluruh, tidak secara parsial. Sebab, ketika satu jenis iklan dilarang, maka industri rokok dengan sumber daya dan dana yang tak terbatas akan segera beralih secara maksimal ke jenis iklan yang lain. jangan sampai regulasi yang ada hanya menjadi bahan olok-olok industri rokok dengan seruan untuk tetap merokok, pro - never qiut!.
Â
Gus Esjee
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H