Grebek Sahur atau Beduk Sahur.
Tradisi membangunkan orang-orang di kala sahur sudah menjadi rutinitas yang diselenggarakan oleh warga Banua di Provinsi Kalimantan Selatan dikenal dengan istilah Bagarakan Sahur. Sedangkan di daerah-daerah lainnya di Indonesia pun dikenal tradisi yang hampir serupa dengan istilah atau penamaan yang berbeda. Ada yang menyebutnya sebagaiDalam pelaksanaannya, tradisi membangunkan orang-orang di kala sahur ini bisa dilakukan oleh perorangan maupun secara berkelompok. Kebanyakan biasanya dilaksanakan secara sukarela dan menjadi momen yang paling ditunggu-tunggu saat bulan suci Ramadan tiba. Di kampung tempat saya tinggal saat ini, tradisi Bagarakan Sahur dilakukan oleh remaja dan anak-anak yang berkeliling dengan mengendarai kendaraan bermotor, seraya meneriakkan kata: "Sahur...., sahur...., sahur....".
Sarana yang dimanfaatkan untuk melaksanakan Bagarakan Sahur, Grebek Sahur, Beduk Sahur, dan sejenisnya bisa bermacam-macam. Dulu tradisi Beduk Sahur memakai sarana beduk yang ditabuh dan diarak keliling kampung. Selain itu, ada pula warga yang memanfaatkan aneka jenis alat musik pukul sederhana, hingga alat musik modern. Yang pasti, tujuannya tetap sama, yaitu membantu warga setempat agar dapat bangun dan menjalankan santap sahur bersama keluarganya masing-masing.
Sebenarnya tradisi membangunkan orang-orang di waktu sahur ini sudah berlangsung sejak zaman Rasullulah SAW. Dalam sebuah hadis riwayat Ahmad, Rasulullah mengimbau umat Islam selama menjalani puasa Ramadan, "Bersahurlah, sesungguhnya dalam sahur itu penuh dengan barakah."
Tradisi sahur merupakan kegiatan santap makanan yang dilakukan oleh umat Islam sebelum jatuh waktu Subuh, sebagai persiapan untuk menjalani ibadah puasa selama sehari.
Pada masa Rasullulah SAW, tradisi membangunkan orang-orang untuk bersahur dengan mengumandangkan azan pertama Subuh yang pada masa itu dilakukan oleh Bilal bin Rabah. Sedangkan waktu sahur berakhir saat berkumandangnya azan kedua oleh Abdullah Ibnu Ummi Maktoum.
Di Arab Saudi, pria yang membangunkan orang-orang di kala sahur dikenal dengan istilah Mesaharaty atau dieja sebagai Musaharati.
Biasanya aktivitas ini dijalankan oleh seorang pria yang berpakaian gamis lengkap dengan membawa gendang untuk ditabuh disertai berbagai atributnya, seperti yang lazim berlangsung di masa silam.
Tradisi tersebut tidak hanya berlangsung di Arab Saudi, namun juga di Mesir, Oman, Kuwait, Sudan, Libanon, Suriah, Palestina, hingga Yaman. Istilah Musaharati juga dikenal dengan nama Abu Tabila.
Jika ditilik kembali, tradisi membangunkan orang-orang di kala sahur sebenarnya adalah sebuah peristiwa tradisional yang unik dan hanya akan kita temukan di sepanjang bulan suci Ramadan. Di zaman modern ini, aneka tradisi di atas lambat-laun tidak dilaksanakan lagi.
Di sebagian wilayah, umat Islam dibangunkan oleh suara yang berasal dari masjid setempat melalui pengarah suara atau TOA. Sebagian lainnya memanfaatkan jam weker atau alarm yang terdapat pada gawainya masing-masing.
Saya pribadi mempunyai kesan tersendiri terhadap tradisi membangunkan orang-orang di kala sahur ini. Selain memang kehadirannya bersifat khas di bulan Ramadan, tradisi tersebut juga mampu membangun solidaritas antar warga setempat untuk menunjukkan empati dan rasa pedulinya terhadap masyarakat sekitar.
Apalagi jika yang melaksanakannya adalah anak-anak remaja bersama orang-orang yang lebih dewasa. Di Indonesia tradisi ini sarat akan makna gotong-royong yang menjadi salah satu ciri khas kebanggaan kita sejak dulu.
Akan menjadi sebuah tradisi yang membanggakan, meskipun zaman telah berkembang, dan nilai-nilai kehidupan manusia diarahkan pada modernisasi; tradisi yang indah ini dapat terus diwariskan dari generasi ke generasi. Semoga!
Banjarmasin, 1 Mei 2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H