Di sisi lain, tentu Abah dan Mama si anak laki-laki tersebut sudah pernah mendengar legenda yang disampaikan turun-temurun oleh leluhurnya perihal si Naga Putih tersebut.
Biasanya mereka-mereka yang telah mengetahui kisah seperti ini, tidak akan berani mencoba untuk melanggar beragam pantangan yang disebutkan. Apalagi sampai memakan telur raksasa yang sudah dapat dipastikan merupakan telur keramat milik si Naga Putih. Kutukan yang diterima Abah dan Mama tersebut sebenarnya sudah disadarinya.
Pun dalam kehidupan kita sehari-hari, banyak hal atau kejadian yang seharusnya tidak perlu terjadi dalam hidup kita. Namun akibat "kedegilan" hati dan pikiran kita, maka dampak negatif atau akibat buruk sebagai konsekuensinya sudah pasti akan kita terima.
Kepada si anak laki-laki dalam legenda ini kita pun dapat berguru perihal makna kesabaran yang memang harus dijalani dengan tulus hati. Dalam seluruh paparan kisah yang dituturkan, tidak terdapat bagian kisah yang menyiratkan keputusasaan si anak manakala dia tidak juga dipertemukan kembali dengan kedua orang tuanya yang sudah berubah menjadi dua ekor Naga.
Dalam legenda ini sebenarnya juga terkandung pesan moral lainnya, dimana sebagai seorang manusia hendaknya kita tetap tekun berjuang seraya menyerahkan seluruh perjalanan hidup kita kepada Sang Pencipta. Sikap pasrah dalam ketekunan dan kesabaran tentu tidak mudah kita praktikkan dalam keseharian kita dewasa ini. Apalagi di zaman serba digital yang menuntut segala sesuatunya harus serba cepat dan serba instan.
Dan semoga ulasan singkat ini menambah khazanah dan wawasan Kompasianers dan pembaca sekalian untuk lebih mengenal dan mencintai cerita rakyat asli Indonesia.
Banjarmasin, 10 Januari 2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H