Awal tahun 2021, virus mutasi atau mutasi virus adalah dua kata yang belakangan ini begitu populer menjadi bahan perbincangan di dunia nyata maupun dunia maya. Berbekal kisah kabar yang konon masih akan diselidiki lebih lanjut, berita mengenai munculnya varian baru virus Covid-19 atau dikenal dengan nama ilmiah SARS-CoV-2 di Inggris ini kemudian diidentifikasi sebagai virus berkode B117. Seperti dirilis Kompas.com pada 29/12/2020 lalu, varian baru ini telah menyebar di 19 negara di dunia.
Bahkan PM Inggris Boris Johnson seperti dikutip Kompas.com pada Rabu, 30 Desember 2020 kemarin, strain baru berkode B117 ini diketahui lebih menular dibanding virus aslinya. Bahkan di daratan India disebutkan, varian baru ini pun sudah memunculkan dirinya di sana. Beberapa negara di Eropa (Belanda, Italia, Jerman, dan Perancis), juga negara-negara di Asia (Malaysia, Singapura, Filipina) juga Afrika Selatan telah melaporkan keberadaan varian baru ini.
Sebenarnya sejak pertama kali merebak di Wuhan, Cina pada akhir tahun 2019 silam, SARS-CoV-2 sudah mengalami mutasi setiap saat di seluruh penjuru dunia. Jadi bisa dibayangkan, sudah berapa ribu kali Covid-19 ini mengalami mutase sejak awal kemunculannya setahun lalu.
Di awal-awal kemunculannya, sempat ada orang-orang yang menduga bahkan meyakini bahwa virus Covid-19 ini tidak bisa hidup di Indonesia, yang dikenal memiliki cuaca panas karena berada di bentangan Garis Khatulistiwa.
Alhasil, dugaan dan keyakinan tersebut ternyata tak terbukti. Awal Maret 2020, Pemerintah Republik Indonesia secara resmi mengumumkan bahwa virus Covid-19 sudah menjangkiti masyarakat setempat. Dan merebaknya kasus Corona di Indonesia ini tentu tidak bisa dilepaskan dari kemampuan virus ini untuk bermutasi.
Melalui salah satu pembahasan di situs alodokter.com, dijelaskan bahwa ukuran virus sangat kecil yaitu sekitar 16 -- 30 nanometer. Ukuran ini jauh lebih kecil dibandingkan bakteri. Meski ukuran virus maupun bakteri sangat kecil, namun mikroorganisme ini sama-sama mampu memunculkan infeksi atau penyakit pada tubuh manusia yang menjadi inangnya.
Sebagai makhluk hidup, virus melakukan mutasi "demi dapat" bertahan hidup. Di sinilah dimulai cerita mengapa kemudian virus menempel pada inangnya. Nah, pada tubuh inangnya inilah virus kemudian berkembang biak sedemikian rupa dengan cara menyalurkan materi genetik (RNA maupun DNA) ke sel-sel sehat milik tubuh inangnya tersebut.
Proses pun terjadi dan menjadikan virus itu pun berusaha menguasai sel-sel sehat milik inangnya. Maka jika inang itu adalah seorang manusia, maka pada dirinya akan berlangsung pertempuran antara sel-sel sehat yang ada padanya dengan gerombolan virus yang terus berkembang biak tadi. Proses yang bisa diistilahkan sebagai "perebutan kekuasaan" ini menjadi tak mudah begitu saja, karena pada tubuh setiap manusia ternyata memiliki "kekebalan tubuh" atau dikenal juga dengan sistem imun.
Maka "mutasi" virus pun terjadi dengan jalan "mengelabui" sistem kekebalan tubuh manusia yang menjadi inangnya. Aksi tipu-tipu ala virus ini lambat laun akan berhasil bilamana sistem kekebalan tubuh manusia tadi lemah. Pertahanan atau "banteng" ini pun pada akhirnya jebol, sehingga virus yang telah bermutasi ini semakin leluasa melancarkan serangannya.
Semakin bermutasi, menjadikan varian suatu virus semakin kuat sekaligus makin mudah berkembang biak atau memperbanyak diri. Virus mutasi ini pun dapat juga menyebabkan penyakit baru atau munculnya gejala-gejala tambahan pada suatu penyakit yang disebabkan oleh virus tertentu.
Sepak terjang virus selama bermutasi tadi rupa-rupanya menarik pada ahli mikrobiologi yang kemudian memanfaatkan proses ini untuk membuat vaksin. Melalui pembuatan vaksin, virus dirangsang untuk bermutasi lebih lambat atau lebih lemah.
Di sini kita semua bisa melihat bahwa ternyata aktivitas mutasi virus atau virus yang bermutasi tadi di satu sisi menyebabkan dampak negatif, namun di sisi lain ternyata dapat dimanfaatkan oleh para ahli mikrobiologi untuk menciptakan vaksin yang saat ini menjadi satu-satunya cara atau pilihan yang ditempuh untuk memerangi dampak negatif virus yang sedang merebak dalam skala luas.
Barangkali bila virus mutasi atau mutasi virus tidak terjadi, cara penanggulangan dampak negatif dari virus tersebut mungkin tidak mempergunakan vaksin. Barangkali akan ditemukan cara atau metode kedokteran lainnya, entah itu dengan mempergunakan antibiotik atau sarana pencegahan lainnya.
Bagi kita semua yang sedang berada pada pusaran pandemi ini, sikap "waspada" dan "hati-hati" perlu terus kita jaga, sebagai salah satu cara untuk ikut serta "bela negara" dalam rangka memerangi pandemi Covid-19 yang tengah melanda Indonesia dan dunia. Dengan tetap disiplin menerapkan 3M (memakai masker, mencuci tangan, menjaga jarak) dan mengikuti protokol kesehatan serta imbauan pemerintah setempat.
Kalau bukan kita, siapa lagi? Kalau bukan sekarang, kapan lagi? Patuhi protokol kesehatan dan anjuran pemerintah agar pandemi Covid-19 ini segera berakhir. Bersama kita pasti bisa! Indonesia bisa!
Banjar, 5 Januari 2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H