Kisah lama pasti pernah kau dengar, kawan...
Saat sebuah kerajaan menyerang kerajaan lain,
"demi politik", pembunuhan pun dilakukan!
Sekian nyawa melayang pergi,
meninggalkan raga mereka
yang hingga kini mungkin tak pernah tahu
apa alasannya mereka mati saat itu.
Kisah lainnya pasti pernah kau simak, kawan...
Saat sebuah negara melakukan agresi militer di negara lainnya,
"demi politik dan kekuasaan", nyawa manusia jadi tumbalnya!
Sekian orang menjadi korban,
desingan peluru, ledakan mortir atau bom
terlempar dan dijatuhkan ke sasaran
dan jiwa-jiwa itu pun menggelepar
terlunta dalam nestapa berkepanjangan.
Berita di koran pun tentu pernah kau baca, kawan...
Seorang anak membunuh orang tuanya,
atau mertua membunuh menantunya,
dan pasti karena "alasan politik"
yang menjadi latar belakangnya!
Politik yang diterapkan dalam rumah tangga,
yang berujung malapetaka.
Pembunuhan pun juga terjadi,
hingga di rumah-rumah ibadah
dan lagi-lagi mereka yang menjadi korbannya
tak pernah tahu alasannya,
mengapa jiwa mereka harus "dipisahkan" dari raganya?!
Puisi ini bukan tentang balada, kawan....
Tapi tentang tragedi!
Tentang kisah yang sudah terjadi,
juga tentang kisah yang berulang kali terjadi,
"tentang pembunuhan",
tentang korban jiwa-jiwa
yang hingga kini pun nanti
"tak pernah tahu alasannya"
mengapa mereka terbunuh atau dibunuh?!
Melalui tragedi-tragedi itu...
Â
Banjarmasin, 30 Oktober 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H