"Hilal telah tampak.", demikian terlihat sebuah tulisan besar terpampang di salah satu stasiun televisi nasional. Sejurus kemudian Lehman memberanikan diri bertanya kepada Abahnya yang sedari tadi tengah sibuk merapikan kumisnya.
"Bah, Abah, ulun handak bertanya sesuatu, boleh kah?" ucap Lehman sambil melangkah menghampiri Abahnya di sudut ruangan.
"Handak bertanya apa, Lehman?" Abah menghentikan aktivitasnya semula.
"Hilal itu apa, Bah?" tanya Lehman tersenyum bingung.
"Nak, hilal itu artinya bulan sabit. Jadi kalau di acara televisi tadi disebutkan bahwa hilal telah tampak, itu artinya bulan sabitnya sudah terlihat." Kata Abah.
Lagi-lagi Lehman nyerocos bertanya,"Kalau bulan sabitnya sudah terlihat, itu artinya apa, Bah?"
Abah meraih telapak tangan Lehman lalu menggiringnya agar duduk di sampingnya. "Ikam duduk di higa Abah dahulu lah, nanti Abah jelaskan."
Lehman segera mengikuti isyarat Abahnya. Selanjutnya Abah melanjutkan penjelasannya, "Hilal atau bulan sabit itu biasanya akan muncul tepat sesudah matahari terbenam. Jika bulan sabit itu terlihat walau sedikit, maka sudah bisa dipastikan bahwa kita akan memasuki bulan Syawal, setelah sebulan penuh kita berpuasa di bulan Ramadan ini."
"Ulun tahu, ulun tahu, artinya kalau ada hilal berarti kita akan segera merayakan Hari Raya Lebaran. Bujurlah, Bah kayatu?" ucap Lehman menimpali.
Abah tersenyum dan merasa bangga dengan Lehman yang cepat memahami penjelasannya. "Ayo kita siap-siap, bawai Mama ikam lah, kita handak berbuka puasa lalu salajur salat Magrib berjamaah."
Waktu pun berlalu begitu saja. Setelah berbuka puasa dan salat Magrib yang terakhir kalinya di bulan Ramadan 1440 H; Lehman ikut serta Abahnya pergi menjalankan salat Isya berjamaah dan mengikuti malam takbiran di Masjid Al-Karomah Martapura.
Suasana malam takbiran di Kota Martapura begitu meriah. Di mana-mana terdengar lantunan gema takbir, tahmid, dan tahlil, sebagai tanda syukur bahwa Idul Fitri akan segera tiba esok hari.
Kisah Perjalanan ke "Alam Roh"
Waktu hampir menunjukkan pukul 23.00 Wita, saat Lehman dan Abah berjalan bergegas meninggalkan masjid menuju ke rumah mereka, yang terletak tak jauh dari kawasan Pasar Cahaya Bumi Selamat.
Dalam perjalanan tersebut, tiba-tiba Abah bertanya kepada Lehman, "Lehman, kayapa tadi ikam bajalanan dengan Kai Ali subuh-subuh ke Desa Alam Roh?"
"Jauh banar, Bah ai. Kami lewat Jalan Martapura Lama, lalu kearah Kecamatan Sungai Tabuk. Dari situ hanyar kita menuju Desa Pakualam," jawab Lehman sembari berjalan melenggang di sisi Abahnya.
"Beapa ikam dengan Kai Ali di situ?" tanya Abah lagi.
Lehman menghentikan langkahnya ketika mereka sampai di sebuah tikungan jalan. "Kami ziarah kubur, Bah ai. Kalau tidak salah tadi kami ziarah ke makam Datu Djantera dan para sahabatnya pejuang Kalimantan."
"Mantap banar, ikam nih! Abah dan Mama himung banar jika ikam mempunyai jiwa dan semangat patriotisme seperti leluhur kita. Makam yang ada di Desa Alam Roh itu adalah makam Datu Djantera dan para tentara anggota Divisi ALRI IV Pertahanan Kalimantan." Kata Abah sambil menepuk pundak Lehman berkali-kali.
Di saat berikutnya Lehman mulai menarik lengan Abahnya agar berjalan lebih cepat lagi supaya bisa segera tiba di rumah.
Setelah sampai di rumah, Lehman dan Abah segera membersihkan tangan dan kaki mereka; sebelum duduk di ruang tengah untuk melanjutkan perbincangan. Di meja kini telah terhidang kelelepon dan teh hangat.
"Aduh Lehman, ikam pasti sudah lelah banar. Belum mau tidurkah?" tanya Mama Lehman kepada anaknya yang sudah terduduk diam di samping Abah.
 Lehman hanya menggeleng. Dia segera mengambil secangkir teh dan sepiring kecil kelelepon. Dengan lahap Lehman menikmati kudapan yang tersaji. Sampai di suatu ketika dia kembali bertanya, "Bah, kata teman-teman di sekolah, Desa Alam Roh itu mistis ya?"
Abah termenung sesaat, kemudian menjawab, "Di zaman perang kemerdekaan, Desa Alam Roh itu dijadikan markas pejuang Kalimantan Selatan. Di desa itu para pejuang, termasuk Datu ikam, ikut berlatih perang dan menyusun taktik melawan Walanda. Siang malam tentara pejuang itu berkumpul di Desa Alam Roh."
"Lalu Bah, kayapa lanjutan kisahnya?" Lehman kian penasaran.
"Zaman perang itu, para pejuang kita sulit melakukan rapat dan menyusun strategi perang di desa-desa yang ramai dihuni penduduk. Karena tentara Walanda itu rajin patroli kemana-mana. Di zaman itu juga ada warga kita yang menjadi mata-mata Walanda. Jadi akhirnya Desa Alam Roh dipilih untuk dijadikan markas para pejuang Kalimantan; karena desa itu sepi dan lokasinya jauh dari mana-mana. Bahkan sampai sekarang Desa Alam Roh masih sangat sepi, di sekitarnya ditumbuhi hutan dan semak belukar." Papar Abah Lehman melanjutkan kisahnya.
"Agar Desa Alam Roh aman dari jangkauan tentara Walanda, oleh penduduk di situ kemudian dimintakan jampi-jampi dari para ulama di Kota Martapura. Menurut kisah Kai Ali kepada Abah, di empat arah penjuru desa itu ditanami empat jimat yang kegunaannya untuk 'menipu mata' para tentara Walanda dan mata-matanya."
Tiba-tiba Lehman menyampaikan pertanyaan berikutnya, "Kayapa bila sampai ada tentara Walanda dan mata-matanya masuk ke Desa Alam Roh?"
"Ujar Kai Ali, tentara Walanda dan mata-matanya yang mencoba masuk ke Desa Alam Roh akan meninggal semua. Dan hal itu diyakini karena terkena jampi-jampi empat jimat sakti yang ditanam di Desa Alam Roh," kata Mama Lehman berusaha menjawab rasa penasaran anaknya.
"Bujur, Nak ai. Para pejuang kita pada zaman itu dipimpin Datu Hassan Basry. Banyak dari tentara pejuang Kalimantan yang sakti dan kebal peluru. Datu Hassan Basry juga dikenal sakti. Karena Desa Alam Roh dikelilingi oleh hutan lebat, maka sudah pasti banyak nyamuknya. Oleh beliau kemudian ditancapkan sebilah kayu; dan ajaib sekali, tidak ada nyamuk yang berani masuk ke Desa Alam Roh!" kisah Abah Lehman di saat yang lain.
Lehman dengan hikmat mendengarkan penuturan kedua orang tuanya. Dalam benaknya sedikit banyak dapat terbayang peristiwa demi peristiwa yang disampaikan kepadanya malam itu.
"Abah dan Mama, tadi sewaktu di Desa Alam Roh, Kai Ali juga bercerita tentang rumah Bubungan Tinggi yang ada di sana. Kata Kai, rumah itu dulu dipakai para pejuang untuk rapat dan menyusun taktik perang melawan tentara Walanda. Tadi Lehman juga melihat koleksi senjata dan baju berajah yang ada tulisan Arabnya. Ujar Kai itu semua adalah milik para pejuang Kalimantan." Kisah Lehman menuturkan pengalaman kunjungannya siang tadi.
Tak terasa malam kian larut, saat mendekati tengah malam, Lehman tampak mulai tertidur. Tubuhnya tanpa sengaja bersandar di lengan Abahnya. Mama dan Abah pun segera membawa Lehman ke kamarnya.
Ucapan Selamat Lebaran dari Datu Hassan Basry
Pagi itu suasana di halaman rumah Lehman masih agak gelap. Lehman terbangun dari tidurnya saat waktu menunjukkan pukul 05.30 Wita. Segera dia bersiap-siap untuk mengikuti ibadah salat Id bersama Abah dan Mamanya di Masjid Al-Karomah.
Setelah menyantap wadai pisang goreng dan minum jahe merah hangat, mereka bertiga segera beranjak meninggalkan rumah dan melangkahkan kaki ke masjid. Dalam perjalanan mereka berjumpa dan berpapasan dengan banyak orang.
Cuaca pagi itu begitu cerah, matahari sudah mulai nampak bersinar kuning keemasan di ufuk timur. Salat Idul Fitri pun digelar dengan hikmat dan khusuk oleh jemaah yang telah memadati ruang masjid hingga di halaman luarnya. Usai salat, jamaah masih duduk dengan setia untuk mendengarkan khutbah hingga selesai.
Sebelum pulang kembali ke rumah, Abah, Mama, dan Lehman menyempatkan diri bersalam-salaman dan mengucapkan Selamat Hari Raya Lebaran kepada kenalan maupun orang-orang yang dijumpainya.
Hari semakin siang dan matahari kian meninggi. Lehman dan kedua orang tuanya kini telah berada dalam perjalanan untuk kembali ke rumah. Saat hendak memasuki halaman rumah, Lehman melihat Kai Ali bersama seseorang yang tak dikenalnya, telah menunggu di teras.
Kontan saja Lehman segera berlari-lari mendapati Kai-nya. Sesampainya di hadapan Kai Ali, Lehman segera meraih kedua tangan Kai-nya dan menciuminya berulang kali sembari berucap, "Taqabbalallahu minna wa minkum, ja'alana minal a'idin wal fa'izin. Lehman minta maaf lahir dan batin, minta rela jua lawan Kai."
"Kai minta maaf lahir dan batin jua lawan ikam. Semoga ikam sehat terus, Lehman," jawab Kai Ali sambil dipeganginya kuat-kuat pundak cucunya itu. "Hari ini Kai membawa sahabat seperjuangan Datu Djantera. Beliau adalah Datu Hassan Basry yang dahulu jadi pemimpin para tentara pejuang Divisi ALRI IV Kalimantan," ucap Kai Ali di saat berikutnya.
Lehman sempat terpana menatap sosok gagah yang kini berdiri di hadapannya. Dia mengenakan pakaian lengkap seorang tentara pejuang, dengan topi berbentuk peci dan atributnya. Lelaki gagah itu tersenyum dan segera menjabat tangan Lehman, "Taqabbalallahu minna wa minkum, ja'alana minal a'idin wal fa'izin. Selamat Hari Raya Lebaran untukmu."
Lehman masih terdiam. Mulutnya terkunci karena begitu terpesona dengan sosok lelaki itu.
Mendadak, Lehman merasakan ada seseorang yang menepuk-nepuk pundaknya. "Lehman, Lehman, bangun Nak ai, sudah siang!" Sayup-sayup Lehman mulai mengenali suara itu.
"Lehman, Lehman, bangun Nak ai, hari sudah siang!" seru suara itu lebih keras. Sekonyong-konyong Lehman tergagap lalu terjaga dari tidurnya.
Catatan istilah bahasa Banjar :
- Abah = Ayah
- ulun = saya, aku
- handak = ingin
- ikam = kamu
- di higa = di samping
- bujurlah = benarlah
- kayatu = seperti itu
-Â lalu salajur = lalu kemudian
- kayapa = bagaimana
- bajalanan = menempuh perjalanan
- himung = senang
- banar = sekali
- hanyar = baru
- beapa = ngapain
- Datu = ayahnya Kakek
- kelelepon = makanan khas Banjar yang terbuat dari ketan, berisi gula merah di dalamnya, disajikan dengan parutan kelapa
- Walanda = Belanda
- jampi-jampi = doa-doa
- ujar = menurut penuturan
- wadai = jajanan
- lawan = dengan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H