Sebelum menyantap sajian makanan yang ada, kami secara spontan saling mengulurkan tangan untuk bermaaf-maafan satu sama lain. Senyum sumringah terpancar dari wajah masing-masing, seolah tanpa jarak dan tanpa prasangka, semua prosesi berlangsung alami dan apa adanya.
Karena perayaan Idul Fitri terjadi setahun sekali, maka kami yang hadir di kediaman Pakde dan Budhe ada yang bertahan hingga sore atau malam hari; salah satunya adalah keluarga saya. Selama sehari itu, saya juga berkesempatan berjumpa dengan tetangga, kenalan, dan sahabat Pakde atau Budhe.
Praktis suasana damai di tengah canda tawa yang ramai, selalu menjadi ciri khas yang tak pernah pudar di setiap tahunnya. Tamu-tamu yang datang biasanya memilih lokasi tempat duduk sesuai selera. Ada yang memilih untuk berada di halaman rumah, ada yang duduk-duduk di teras rumah, ada yang berbincang di ruang tamu, sementara yang lain duduk lesehan di ruang tengah atau dapur belakang.
Semua itu tidak pernah dipermasalahkan; yang penting perbincangan tetap terjalin dengan asik dan menarik. Dan kalau kita sungguh berniat untuk mendengarkan setiap cerita yang ada, dijamin saat pulang ke rumah nanti kita akan mendapatkan bekal "kisah kehidupan" yang bisa dijadikan renungan dan sumber belajar.
Memaafkan adalah "Proses Belajar" Menjadi Sabar dan Sadar
Dalam keseharian tentu salah paham kerap terjadi di antara anggota keluarga, atau dengan sesama kita. Entah salah paham itu disengaja ataupun tanpa disengaja. Seperti kehidupan yang mengalir begitu saja.
Manakala aliran air terasa lancar, maka aliran itu akan melintas tanpa halangan. Akan tetapi ketika harus bertemu bebatuan cadas atau rintangan lainnya, tentu aliran air itu akan menjadi terhambat.
Demikian juga manakala kita mempunyai maksud atau niat baik dalam kehidupan, tidak semua pihak akan menerimanya dengan senang hati. Bahkan ada orang-orang yang tampaknya sengaja menjadi penghalang semua kebaikan itu. Entah apa alasannya, saya pun tak tahu pasti!
Tentu bila kita dipertemukan dengan situasi demikian, hati kecil kita pasti akan "berteriak" dan protes, dengan sebuah pertanyaan yang menyertainya: "Mengapa niat baikku mesti dihalang-halangi atau bahkan digagalkan seperti itu? Maunya apa, sih?!"
Berhubung di masa kecil saya sudah "kenyang" untuk menjalani kesabaran, maka saya pun woles saja mendapat perlakuan atau sikap yang kurang menyenangkan tersebut. Saya sadar barangkali mereka-mereka yang menunjukkan sikap "tidak suka" terhadap niat atau perbuatan baik saya itu memang merasa "belum mampu" untuk berbuat baik.
Di sini saya belajar untuk memaafkan, meskipun mereka tidak atau belum pernah minta maaf kepada saya. Jujur saja, tidak selalu mudah untuk melakukan hal seperti ini. Tapi saya menjamin bila ada yang mampu melakukannya, niscaya kedamaian dan kebahagiaan batin akan kita alami. Dan saya percaya bahwa itu adalah semata-mata anugerah dari Allah SWT.