Ternyata setelah berhasil membuat saya menangis, Reni tidak serta-merta menghentikan aksinya. Dia pun masih mencoba mengusili saya dengan ejekan khasnya. Istilah zaman now-nya mem-bully"!
Kejadian-kejadian lainnya yang hampir mirip ataupun berbeda masih terus terjadi di waktu-waktu selanjutnya. Meski begitu, saya tidak pernah punya keinginan atau niat "pindah" sekolah. Dan saya pun tetap menjalani hari-hari saya setiap hari tanpa banyak mengeluh. Di situlah saya mulai belajar untuk menjadi seorang anak yang "sabar".
Jujur saja pada masa itu saya terkadang merasa marah dan dongkol pada kelakuan Reni. Tapi apa daya, berhubung postur badan saya lebih kecil, maka kenginan untuk "membalas" dendam hampir-hampir tidak pernah menjadi kenyataan. Sebagai catatan, tinggi badan saya saat itu hanya sebatas dagu si Reni. Jadi kebayang kan gimana susahnya untuk merealisasikan niat tersebut?
Seingat saya, saat hendak naik ke kelas 6, kami mendapat kabar bahwa Mama si Reni berpulang. Saat itu suasananya begitu mengharu biru. Reni hanya menangis dan kami semua hanya bisa ikut serta bersimpati padanya. Sejak peristiwa itu, entah mengapa saya merasa telah "memaafkan" semua perbuatan Reni selama ini. Apalagi semenjak ditinggal pergi oleh Mamanya, Reni menjadi pribadi yang introvert dan pendiam.
Karena sudah duduk di bangku kelas 6, saya dan teman-teman sekelas pun mulai mempersiapkan diri menghadapi EBTANAS (Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional). Demi meraih NEM (Nilai Ebtanas Murni) terbaik, kami belajar lebih rajin dan mengurangi aktivitas bermain sehari-hari.
Dan hari yang kami tunggu-tunggu pun akhirnya tiba. Alhamdulilah, kami dinyatakan lulus semua dan perpisahan "sederhana" di sekolah pun digelar. Di saat itulah saya dan Reni dan teman-teman lainnya saling "bermaaf-maafan". Sehingga setelah meninggalkan sekolah tersebut, hati kami merasa "plong" dan lega untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
Kejadian di masa kanak-kanak tersebut, jika saya refleksikan kembali di hari ini dan nanti, ternyata mampu memberikan pengalaman batin yang luar biasa bagi saya pribadi. Dan saya memaknainya sebagai suatu anugerah dari Allah SWT. Saya diberi kesempatan untuk belajar sabar, belajar memaafkan, dan mengalami suasana bermaaf-maafan yang indah dan berkesan.
Dan ketika tumbuh menjadi pribadi yang kian dewasa, pengalaman itu menuntun saya agar menjadi pribadi yang semakin sabar dari hari ke hari. Menjadi sabar bukan untuk mendapatkan pujian, namun dengan bersabar maka kita akan dijauhkan dari banyak percekcokan dan pertikaian yang mungkin terjadi. Kesabaran yang telah terbentuk inilah yang menjadikan saya lebih mudah untuk memaafkan, meskipun "seremoni" bermaaf-maafan belum terjadi atau dilakukan.
Tradisi Bermaaf-maafan dalam Keluarga Besar
Sudah menjadi tradisi keluarga besar saya untuk melakukan halal-bihalal di kediaman Pakde dan Budhe (paman dan bibi dalam bahasa Jawa). Biasanya adik-adik Pakde maupun Budhe akan berdatangan pada hari pertama Hari Raya Lebaran. Masing-masing membawa suami atau istri, dan anak-anaknya.
Selepas waktu salat Id, rumah Pakde biasanya sudah ramai dengan kehadiran kami yang datang satu-persatu dalam rombongan. Menu khas Lebaran yang dimasak oleh Budhe pun langsung terhidang di ruang tengah. Ada opor itik, sayur urap, gulai plus sate kambing, karih ayam, dan lain sebagainya. Selain nasi putih, juga disediakan ketupat yang bisa dipilih sesuai selera.