Mohon tunggu...
Agus Puguh Santosa
Agus Puguh Santosa Mohon Tunggu... Guru - Guru Bahasa Indonesia

Menulis adalah jalan mengenal sesama dan semesta.

Selanjutnya

Tutup

Ramadan Pilihan

Mewujudkan "Connecting Happiness" melalui Sedekah Tanpa Batas

8 Mei 2020   20:05 Diperbarui: 8 Mei 2020   20:22 380
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dua Kakak Beradik Menanti Rejeki di Tepian Jembatan Barito (Foto: koleksi pribadi, 2015)

Malam itu saya bersama istri sedang menikmati sajian bakmi di sebuah restoran kecil di pusat Kota Banjarmasin. Saat sedang menyantap hidangan yang tengah tersaji di mangkok kami masing-masing, tiba-tiba muncul seorang laki-laki berperawakan kurus, dengan baju garis-garis biru dan celana jeans belel berwarna senada. Dia membawa senjata berupa sebuah gitar lawas bernuansa kecoklatan.

Sebelum bernyanyi, lelaki muda itu mengucapkan salam kepada semua pengunjung restoran. Dawai-dawai gitarnya di saat yang lain mulai berpadu mencipta baris-baris nada sebuah lagu. Dan lagu itu sangat akrab terdengar di telinga kami, judulnya "Pambatangan".

Dengan renyahnya, pemuda itu bernyanyi dalam lantunan suara yang cukup merdu. Saat pemuda itu baru menyelesaikan setengah bagian lagu, secara reflek saya merogoh selembar uang kertas dari dalam saku jaket saya. Sekonyong-konyong, lembaran berwarna coklat itu saya sodorkan kepadanya.

Pemuda itu tampak tergagap dan menerima lembaran uang yang saya hunjukan padanya. Dia hanya mengangguk sesaat sebelum kemudian kembali menyanyi dan merampungkan lagunya hingga paripurna.

Saat pengamen itu beranjak pergi, istri saya sempat berbisik, "Pa, kalau memberi pengamen itu tunggu dulu sampai lagunya selesai. Kasihan kan tadi dia jadi kelabakan gitu."

Saya hanya tersenyum dan minta maaf kepada istri saya. Apa yang disampaikannya memang benar, seharusnya saya menunggu pemuda itu rampung menyanyikan lagunya.

Belajar dari Lagu "Pambatangan"

Di malam yang lain saya berkesempatan menemani Ibu saya untuk jalan sore-sore di kawasan sekitar Landasan Ulin, Banjarbaru. Suatu ketika kami singgah untuk makan malam di sebuah depot soto. Beberapa saat lamanya kami menunggu antrian, karena malam itu jumlah pembelinya lumayan banyak.

Setelah mendapat giliran, pesanan kami berupa dua mangkok soto ayam pun terhidang di meja. Karena sudah merasa lapar, maka kami segera menyantapnya. Saat baru menghabiskan dua tiga sendok makan, dari arah jalan raya mendadak muncul seorang lelaki paruh baya, berbadan kurus dengan baju agak lusuh. Di tangannya tergenggam sebuah gitar yang siap ia mainkan.

Dan lelaki paruh baya itu pun segera beraksi. Dari nada awal genjrengan gitarnya, saya sudah bisa menebak lagu apa yang akan dia mainkan malam itu. Lagi-lagi, judulnya "Pambatangan"!

Bagi masyarakat Banjar, tentu lagu berjudul "Pambatangan" tidak asing lagi terdengar di telinga. Lagu ciptaan maestro musik Banjar bernama Fadly Zour (alm) ini merupakan salah satu lagu Banjar yang hingga kini masih digemari. Lagu yang berlirik sederhana dengan irama agak cepat ini memiliki makna yang begitu mendalam bila direnung-renungkan.

Syairnya yang sederhana itu pun mengandung makna simbolis yang hendak mengetengahkan makna dan perjuangan seseorang untuk meraih rejekinya masing-masing. Berbagai tantangan akan dihadapinya, namun mereka yang mempunyai keyakinan teguh akan berhasil meraih impiannya dengan memegang kuat prinsip "insyaallah ada harapan"!

Saya pribadi sangat meyakini bahwa prinsip yang berusaha diejawantahkan sang maestro lagu Pambatangan tersebut adalah sebuah kebenaran yang hakiki. Sebuah kebenaran yang tidak bisa dibantah, karena memang demikian realitas perjalanan seorang manusia dalam memperjuangkan hidupnya. Bila ada yang tertarik mendengarkan lagunya, bisa melalui Youtube dan menemukan beberapa versi aransemen lagu ini, salah satunya dari Band Radja yang asli urang Banua.


Oiya, saya ingin melanjutkan kisah tentang lelaki paruh baya di atas. Seperti biasa telapak tangan kanan saya secara reflek meraih lembaran uang di kantong jaket. Saat hendak menyerahkan uang tersebut kepada pengamen yang sedang menyanyi itu, mendadak saya teringat dengan "pesan istri" saya yang sudah saya kisahkan sebelumnya. Saya pun bermaksud memberikan sedikit rejeki saya pada pengamen jalanan itu setelah ia selesai menyanyikan lagunya.

Tanpa disangka-sangka, Ibu saya pun mengambil lembaran uang dari dalam dompetnya dan menitipkannya kepada saya. Di sini suasana "connecting happiness" kami rasakan bersama. Saat lelaki paruh baya itu pergi, Ibu kemudian berbagai cerita tentang kisah perjumpaannya dengan seorang nenek tua yang rutin bertandang ke rumah kami seminggu atau dua minggu sekali.

"Memberi itu jangan menunggu punya harta yang banyak. Nenek tua yang datang ke rumah kemarin Ibu beri bekal mie instant, kopi, gula, teh, beras, dan sedikit uang," ujar Ibu sembari tersenyum. "Kasihan Nak, nenek itu sudah tidak punya siapa-siapa lagi."

Eh, di Sana Ada yang Traktir Es Krim!

Kisah ini terjadi beberapa tahun silam. Saat itu saya dan istri saya masih berstatus pacaran. Di suatu siang, istri saya mengajak saya untuk pergi ke sebuah depot es krim di pinggiran Kota Banjarmasin. Di depot ini biasanya selalu ramai dikunjungi kaum muda maupun anak-anak yang datang bersama orang tuanya.

Setelah memesan es krim kami masing-masing, kami kemudian menuju sebuah meja yang letaknya menghadap pintu masuk. Tiba-tiba di depan kami muncul sosok anak kecil berwajah lusuh yang menodongkan kedua telapak tangannya.

Spontan saya langsung berdiri dan menghampirinya. "Dik, ayo sini." Tanpa diberi aba-aba, anak kecil itu segera mendekat ke arah saya. Sesaat kemudian saya menggiringnya untuk mendekati meja kasir. "Nah, sekarang Adik boleh pesan es krim yang mana aja." ucap saya sambil tersenyum.

Bak mimpi kejatuhan rembulan, anak kecil itu sempat diam seribu bahasa. Kedua matanya berbinar  dan saya bisa menyaksikan kebahagiaan yang terpancar keluar dari sepasang mata bening itu. Setelah berpikir sejenak, dia kemudian menunjuk salah satu menu es krim yang gambarnya terpajang besar di tembok. "Yang itu aja, Kak!" serunya.

Petugas depot es krim segera melayani permintaan es krim anak kecil itu. Setelah saya membayarnya, anak kecil itu berucap lirih, "Terima kasih, Kak!" Dia pun kemudian ngeloyor pergi begitu saja, menghambur ke arah jalan raya sambil berlari-lari kecil kegirangan.

Saya dan istri kemudian melanjutkan menikmati es krim yang masih tersisa. Sembari berbincang, tak lama kemudian es krim di mangkuk kami kasing-masing habis. Saat hendak beranjak meninggalkan depot itu, dari seberang jalan kini muncul tiga orang anak kecil yang usianya sebaya. Kami mengenal salah satu anak itu. Ya, dialah anak kecil yang barusan tadi saya traktir es krim!

Sebelum masuk ke dalam depot, ketiga anak kecil itu tampak berbincang sesaat lamanya. Sesekali waktu tatapan mereka melirik kearah kami. Istri saya hanya tersenyum sambil berbisik, "Nah, itu anak tadi yang sekarang membawa teman-temannya ke sini."

Segera saya menengok isi kantong jaket saya. Alhamdulilah, saya bersyukur karena di kantong itu masih ada beberapa lembar uang puluhan ribu.

Saat anak-anak itu masuk ke dalam depot, langkah-langkah kaki mereka seperti terkena medan magnet yang begitu kuat dari meja kami. Tanpa ba bi bu, mereka langsung menuju meja kami. Saya segera menyambut mereka bertiga dan saya mengulangi apa yang saya lakukan terhadap anak kecil itu saat perjumpaan pertama tadi.

Setelah mendapatkan es krim yang mereka inginkan, ketiga anak kecil itu lagi-lagi menghambur ke arah badan jalan, berlari-lari kecil kegirangan dan menghilang begitu saja di tikungan jalan berikutnya. Saya hanya tersenyum kepada istri saya, dan saya meyakini bahwa saat itu semangat "connecting happinness" telah menghinggapi hati kami berdua, ketiga anak kecil itu, dan mungkin juga pengunjung maupun penjaga depot es krim tersebut.

Sedekah Menembus Batas Hati

Istilah sedekah dalam teks Arab tertulis () seperti dikutip pekanbaru.tribunnews.com bermakna membelanjakan harta atau mengeluarkan dana dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah, yaitu maksudnya adalah ibadah atau amal shalih. Sedekah itu memang amat luas dimensinya, bahkan terkadang bukan hanya terbatas pada wilayah pengeluaran harta saja. Tetapi segala hal yang berbau kebaikan, meski tidak harus dengan harta secara finansial, termasuk ke dalam kategori shadaqah.

Saya pribadi memegang prinsip, selama saya mampu dan diberi kesempatan untuk melakukan sedekah, maka saya akan melakukannya dengan senang hati.

Saya juga pernah mempunyai pengalaman menarik lainnya ketika saya dan istri sedang makan jagung bakar di salah satu pusat kuliner di Kota Banjarmasin. Setelah kami duduk di salah satu warung tenda yang ada, muncul serombongan pengamen yang datang dan menyanyi di tempat itu. Usai menyanyi, saya memberikan lembaran uang kepada mereka.

Di saat yang lain, datang rombongan pengamen berikutnya. Dan saya pun lagi-lagi menyodorkan lembaran uang kepada rombongan kedua ini. Saat menikmati sepertiga porsi jagung bakar kami, rombongan pengamen ketiga muncul dan menyanyi dengan riangnya.

Hingga menjelang jagung bakar kami habis, telah muncul lima rombongan pengamen berbeda yang datang mengalir silih berganti. Saat hendak beranjak pergi meninggalkan warung tenda itu, datang serombongan pengamen berikutnya. Kali ini saya sempat minta maaf kepada mereka karena tidak bisa memberi apa-apa, berhubung lembaran uang yang tersisa di kantong jaket saya hanya cukup untuk membayar uang parkir.

Jujur saja, saya dan istri saya malam itu merasa gembira dengan pengalaman makan jagung sembari ditemani 6 rombongan pengamen berbeda yang menyanyi silih berganti. Meskipun apa yang kami berikan mungkin tidak seberapa, namun kami bisa menangkap rasa syukur yang terpancar dari wajah para pengamen tersebut. Connecting happiness terasa menjalari perasaan kami berdua dan keenam rombongan pengamen tadi.

"Senyummu pada wajah saudaramu adalah sedekah, amar makruf dan nahi munkar adalah sedekah, penunjuki orang yang tersesat adalah sedekah, matamu untuk menunjuki orang buta adalah sedekah, membuang batu, duri atau tulang dari jalanan adalah sedekah." (HR. At-Tirmizy)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun