Bagi masyarakat Banjar, tentu lagu berjudul "Pambatangan" tidak asing lagi terdengar di telinga. Lagu ciptaan maestro musik Banjar bernama Fadly Zour (alm) ini merupakan salah satu lagu Banjar yang hingga kini masih digemari. Lagu yang berlirik sederhana dengan irama agak cepat ini memiliki makna yang begitu mendalam bila direnung-renungkan.
Syairnya yang sederhana itu pun mengandung makna simbolis yang hendak mengetengahkan makna dan perjuangan seseorang untuk meraih rejekinya masing-masing. Berbagai tantangan akan dihadapinya, namun mereka yang mempunyai keyakinan teguh akan berhasil meraih impiannya dengan memegang kuat prinsip "insyaallah ada harapan"!
Saya pribadi sangat meyakini bahwa prinsip yang berusaha diejawantahkan sang maestro lagu Pambatangan tersebut adalah sebuah kebenaran yang hakiki. Sebuah kebenaran yang tidak bisa dibantah, karena memang demikian realitas perjalanan seorang manusia dalam memperjuangkan hidupnya. Bila ada yang tertarik mendengarkan lagunya, bisa melalui Youtube dan menemukan beberapa versi aransemen lagu ini, salah satunya dari Band Radja yang asli urang Banua.
Oiya, saya ingin melanjutkan kisah tentang lelaki paruh baya di atas. Seperti biasa telapak tangan kanan saya secara reflek meraih lembaran uang di kantong jaket. Saat hendak menyerahkan uang tersebut kepada pengamen yang sedang menyanyi itu, mendadak saya teringat dengan "pesan istri" saya yang sudah saya kisahkan sebelumnya. Saya pun bermaksud memberikan sedikit rejeki saya pada pengamen jalanan itu setelah ia selesai menyanyikan lagunya.
Tanpa disangka-sangka, Ibu saya pun mengambil lembaran uang dari dalam dompetnya dan menitipkannya kepada saya. Di sini suasana "connecting happiness" kami rasakan bersama. Saat lelaki paruh baya itu pergi, Ibu kemudian berbagai cerita tentang kisah perjumpaannya dengan seorang nenek tua yang rutin bertandang ke rumah kami seminggu atau dua minggu sekali.
"Memberi itu jangan menunggu punya harta yang banyak. Nenek tua yang datang ke rumah kemarin Ibu beri bekal mie instant, kopi, gula, teh, beras, dan sedikit uang," ujar Ibu sembari tersenyum. "Kasihan Nak, nenek itu sudah tidak punya siapa-siapa lagi."
Eh, di Sana Ada yang Traktir Es Krim!
Kisah ini terjadi beberapa tahun silam. Saat itu saya dan istri saya masih berstatus pacaran. Di suatu siang, istri saya mengajak saya untuk pergi ke sebuah depot es krim di pinggiran Kota Banjarmasin. Di depot ini biasanya selalu ramai dikunjungi kaum muda maupun anak-anak yang datang bersama orang tuanya.
Setelah memesan es krim kami masing-masing, kami kemudian menuju sebuah meja yang letaknya menghadap pintu masuk. Tiba-tiba di depan kami muncul sosok anak kecil berwajah lusuh yang menodongkan kedua telapak tangannya.
Spontan saya langsung berdiri dan menghampirinya. "Dik, ayo sini." Tanpa diberi aba-aba, anak kecil itu segera mendekat ke arah saya. Sesaat kemudian saya menggiringnya untuk mendekati meja kasir. "Nah, sekarang Adik boleh pesan es krim yang mana aja." ucap saya sambil tersenyum.
Bak mimpi kejatuhan rembulan, anak kecil itu sempat diam seribu bahasa. Kedua matanya berbinar  dan saya bisa menyaksikan kebahagiaan yang terpancar keluar dari sepasang mata bening itu. Setelah berpikir sejenak, dia kemudian menunjuk salah satu menu es krim yang gambarnya terpajang besar di tembok. "Yang itu aja, Kak!" serunya.