Malam ini adalah malam kesembilan sejak PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) diterapkan di Kota Banjarmasin. Malam ini adalah malam Minggu pertama di bulan Mei 2020. Sesuai aturan yang sudah disosialisasikan kepada masyarakat, jam malam mulai diberlakukan pukul 21.00 Wita hingga pukul 06.00 Wita.
Kebetulan saya ada keperluan untuk keluar rumah malam ini dan harus melintasi jalanan di tengah Kota Banjarmasin. Saya merasa agak terkejut. Meski waktu hampir menunjukkan pukul 21.30 Wita, namun kawasan Jalan Veteran Banjarmasin dan Jalan Ahmad Yani masih ramai oleh lalu-lalang kendaraan, baik roda empat maupun roda dua.
Suasananya masih sama seperti malam Minggu biasanya. Ada PSBB ataupun sebelum adanya PSBB, semua berjalan normal-normal saja. Memang saya akui, suasananya tidak seramai dulu saat pandemi covid-19 belum terjadi. Tapi jujur saja, keramaian ini membuat saya merasa khawatir. Apalagi kasus corona di Kota Banjarmasin hari ini, Sabtu, 2 Mei 2020, tercatat 59 orang dinyatakan positif, dengan rincian 41 orang dalam perawatan, 10 orang sembuh, dan 8 pasien meninggal dunia.
Jika malam hari suasananya masih seperti ini, tentu bisa dibayangkan suasana siang atau sore hari menjelang berbuka puasa seperti apa. Meskipun Pasar Wadai Ramadan yang biasanya digelar Pemko Banjarmasin resmi ditiadakan tahun ini, namun bukan berarti melarang warga untuk berjualan kue berbuka puasa.
"Tahun ini harus diliburkan. Kebijakan ini demi mencegah potensi penularan virus corona," kata Wali Kota Banjarmasin Ibnu Sina, seperti dikutip media prokal.co., 7 April 2020 lalu. Lebih lanjut Ibu Sina berujar, "Pasar wadai lain mungkin tetap bisa ditemui di kampung-kampung." Walikota juga mengimbau kepada pemilik kafe dan rumah makan agar tidak melayani makan atau minum di tempat. Hanya dibungkus untuk dibawa pulang, atau memberlakukan pemesanan online.
"Ramadan Cake Fair", Kisah Legendaris Pasar Wadai Banjarmasin
"Ramadan Cake Fair" atau Pasar Wadai Ramadan adalah agenda wisata yang digelar oleh Pemko Banjarmasin setiap tahunnya. Kata "wadai" bila diterjemahkan dalam bahasa Indonesia mempunyai makna kue atau penganan.
Sejarah mencatat, seperti disebutkan Jejakrekam.com, kehadiran Pasar Wadai Ramadan tahun 2019 lalu sudah memasuki usianya yang ke-30 tahun. Keberadaan pasar makanan tradisional khas Banjarmasin ini awal mulanya dihelat saat Kota Banjarmasin dipimpin oleh Walikota Effendi Ritonga.
Pasar Wadai Ramadan pada masa itu mengambil lokasi di Jalan Jenderal Sudirman. Lokasi tersebut dipilih untuk mempresentasikan Masjid Raya Sabilal Muhtadin dan Sungai Martapura sebagai landmark pasar tahunan tersebut.
Tahun 2019, lokasi yang dipilih untuk kegiatan ini adalah kawasan Lapangan Kamboja Banjarmasin di Jalan Kamboja. Beberapa tahun sebelumnya seara rutin even serupa digelar di Jalan R.E. Martadinata, persis di depan Balai Kota Banjarmasin.
Di pasar makanan tradisional ini, pengunjung akan menjumpai berbagai macam kue tradisional Banjar yang sebagian diantaranya akan sulit ditemui di hari-hari biasa. Di sinilah kita akan menjumpai istilah wadai 41. Istilah tersebut bukan sekedar istilah, namun memang hendak menggambarkan betapa beragamnya jajanan tradisional Banjar yang lestari hingga kini. Bahkan jika dihitung dengan jari, jumlahnya bisa lebih dari 41 macam.
Beberapa jenis wadai Banjar itu antara lain: Apam Habang, Bubur Habang, Bubur Baayak, Babungku, Babalungan Hayam, Bingka, Cingkaruk Habang, Cincin, Cucur Habang, Dodol Habang, Dodol Putih, Gagatas Habang, Gagatas Putih, Hintalu Karuang, Kakicak Habang, Kakulih Habang, Kalalapun, Lakatan Putih Bahinti, Lakatan Kuning Bahintalu, Lamang, Lupis, Papari, Putu Mayang, Roti Baras Habang, Roti Sagu, Surabi, Tapai Baras, Tapai Gumbili, dan Ular-Ular.
Kalap Belanja Makanan versus Kebutuhan
Mungkin jika kita perhatikan sepintas, ada begitu banyak warga masyarakat yang berbelanja di Pasar Wadai Ramadan setiap sorenya -- menjelang waktu berbuka puasa.Â
Di sepanjang jalanan, kita akan menyaksikan transaksi jual beli wadai khas Banjar yang terjadi di sini. Satu orang mungkin akan berbelanja beberapa jenis wadai di beberapa stan makanan yang ada. Itulah fenomena yang menjadi pemandangan biasa di pasar kuliner yang satu ini.
Dari beberapa kisah yang dituturkan oleh sahabat-sahabat saya, banyak cerita menarik yang saya peroleh. Ada seorang teman yang pergi ke pasar wadai hanya seminggu sekali untuk membeli beberapa macam kue tradisional yang tidak pernah dijumpainya di tempat lain. Karena membeli sekaligus dalam jumlah yang banyak, maka orang lain mungkin menyangka bahwa dia tengah "kalap belanja"!
Mama mertua saya sendiri mempunyai kebiasaan unik saat berbelanja ke pasar wadai. Selama ini beliau selalu menyempatkan diri pergi ke Pasar Wadai Ramadan setiap tahunnya. Karena jumlah anggota keluarganya banyak, maka jumlah kue yang dibeli pun beragam sesuai pesanan masing-masing.
Berhubung pasar wadai ini digelar satu tahun sekali, maka harga kuenya pun agak mahal dibandingkan hari biasanya. Situasi tersebut bisa dimaklumi karena hanya di pasar wadai inilah kita bisa membeli beberapa jenis kue tradisonal Banjar yang sebagian diantaranya langka, dalam jumlah sepotong. Sebab di luar bulan Ramadan, kue-kue langka tersebut hanya bisa kita pesan kepada para pembuatnya. Itu pun harus kita beli dalam jumlah yang banyak, minimal setengah atau satu loyang.
Untuk satu loyang kue biasanya bisa dibagi menjadi 10 iris -- misalnya untuk jenis kue puding busa. Jika satu iris harganya 15 ribu rupiah, maka bisa dibayangkan harga per loyangnya. Maka secara ekonomi hal ini menjadi salah satu daya tarik tersendiri bagi warga masyarakat yang berkunjung ke Pasar Wadai Ramadan.
Mungkin dalam sekali belanja, kita akan mengeluarkan dana sebesar Rp100.000,- untuk membeli beberapa jenis wadai Banjar dalam satu kesempatan. Namun harga tersebut pantas kita bayar untuk sajian beragam kue langka yang sulit kita dapatkan di luar bulan Ramadan.
Di Pasar Wadai Ramadan ini tidak hanya menjual kue-kue khas tradisional Banjar, namun kita juga tetap bisa menikmati aneka jenis makanan yang dijajakan para pedagang kaki lima yang ikut berjualan di sana. Jadi berapa pun anggaran yang tersedia, kita tetap dapat berkunjung ke pasar wadai ini, tentu dengan membeli wadai dan menu lainnya sesuai isi kantong kita masing-masing.
Dengan demikian, pemaknaan kalap belanja makanan saat Ramadan kurang tepat. Karena pada umumnya warga masyarakat yang berbelanja di pasar wadai di kampung-kampung atau yang lokasinya terdekat dari tempat tinggalnya, "hanya membeli" wadai dan makanan sesuai keperluan untuk berbuka puasa. Bila sekilas tampak memborong, itu dikarenakan jumlah menu makanan yang dibeli pada saat bersamaan ada beberapa macam.
Sekalipun pasar wadai tampak ramai setiap hari, namun mereka-mereka yang berkunjung ke sana setiap harinya belum tentu orang yang sama. Logikanya sama seperti apa yang terjadi di pasar tradisional pada umumnya, entah itu pasar yang menjual pakaian, bahan makanan, atau perkakas rumah tangga.
Peninjauan Ulang Makna Fenomena dan Kalap Belanja Makanan
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia versi daring disebutkan bahwa kata "fenomena" diantaranya mempunyai makna hal-hal yang dapat disaksikan dengan pancaindra dan dapat diterangkan serta dinilai secara ilmiah.
Sehingga aktivitas atau kegiatan masyarakat yang tampaknya "kalap belanja" makanan untuk menu berbuka puasa, dapat dijadikan sebagai studi ilmiah. Tujuannya adalah untuk mengetahui secara pasti, apakah apa yang kita saksikan dengan pancaindra dapat merepresentasikan fenomena kalap belanja yang kita amati tadi.
Sedangkan kata "kalap" bisa bermakna lupa diri ketika melakukan sesuatu. Jadi ketika kata kalap disandingkan dengan kata belanja, maka makna yang muncul adalah keadaan lupa diri ketika belanja. Entah itu belanja makanan, pakaian, dan lain sebagainya.
Yang patut kita renungkan adalah, apakah memang benar saat berbelanja makanan untuk menu berbuka puasa kita melakukannya dalam keadaan kalap (lupa diri)? Saya percaya sebagian besar dari kita pasti akan menyangkal ungkapan tersebut, karena memang dalam realitasnya kita membeli makanan sesuai dengan keperluan kita atau keluarga kita masing-masing. Setuju, bukan?
Apa yang terjadi tentu sudah kita rencanakan sebelumnya. Biasanya perencanaan itu pun sudah kita diskusikan bersama anggota keluarga yang lain, misalnya untuk menentukan jenis lauk-pauk, sayuran, buah-buahan, wadai, dan menu lainnya yang akan kita santap bersama saat waktu berbuka tiba.
Jadi secara logis, warga masyarakat berbelanja di pasar wadai sesuai kebutuhannya masing-masing dan menyeimbangkannya dengan jumlah anggaran yang tersedia. Bila tidak pergi ke pasar wadai, mungkin mereka memasak sendiri di rumah. Melakukan aktivitas memasak bersama di rumah tentu menjadi wujud kebersamaan yang mengasikkan.
Sehingga bila ada orang yang kelihatannya kalap berbelanja makanan di pasar wadai, bisa jadi ia baru pertama kali datang ke tempat tersebut. Atau bisa jadi sedang terserang keinginan untuk merasakan semua jenis wadai dan makanan yang disajikan para penjualnya. Siapa tahu ia sudah lama tidak pergi ke pasar wadai atau baru pulang mudik dari luar pulau atau bahkan luar negeri.
"Ulun kacar malihat wadainya, lalu ai ulun tukari wadainya sabarataan!" (Saya ngiler melihat kuenya, lalu saya kemudian memborong semua kue yang ada!).
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI