Ramadan Berbeda di Tahun 2020
 Ramadan tahun ini mungkin adalah satu-satunya Ramadan yang dialami anak milenial dalam situasi yang "berbeda".  Biasanya awal bulan Ramadan selalu ditandai dengan suasana istimewa salat tarawih berjamaah di setiap masjid, surau, maupun langgar yang ada di seluruh penjuru negeri. Khusus di tahun 2020 ini, pemandangan yang sarat makna dan tradisi itu tak mudah kita jumpai.
Sejak awal Maret 2020, Presiden Joko Widodo -- didampingi Menteri Kesehatan Republik Indonesia Terawan Agus Putranto, mengumumkan kasus pertama positif corona di Indonesia. Publik terhentak. Sebagian masyarakat mulai panik. Alhasil, fenomena borong-memborong pun terjadi. Salah satu benda yang langsung ludes di pasaran adalah masker, yang entah bagaimana ceritanya menjadi barang langka dan harganya mulai membumbung tinggi di pasaran.
Saya pribadi kala itu pernah mencoba berkelana dari satu toko obat ke toko obat yang lain, dari satu apotek ke apotek berikutnya, demi mendapatkan masker untuk persediaan keluarga. Namun hasil pencarian saya nihil belaka. Di setiap toko obat atau apotek yang saya sambangi, jawaban yang saya terima selalu sama, "Stok masker kami habis!"
Hari berganti hari, demikian juga minggu demi minggu berlalu. Sampai dengan akhir Maret 2020, jumlah kasus positif corona di Provinsi Kalimantan Selatan baru 5 orang. Meski begitu, aktivitas borong-memborong yang dilakukan masyarakat masih berlanjut di Kota Banjarmasin. Kini, cairan desinfektan dan hand sanitizer mendapat gilirannya menjadi "barang langka" dan sulit dicari di lapangan. Kalau pun ada, jumlahnya terbatas dan harganya sudah menjadi berlipat ganda!
Selasa, 31 Maret 2020, Pemerintah Kota Banjarmasin mengumumkan Banjarmasin sebagai zona merah akibat adanya transmisi lokal penularan covid-19, dan kegiatan borong-memborong pun terus berlanjut. Apakah hal ini terjadi secara kebetulan karena esok adalah tanggal 1 April 2020, atau memang terjadi pasca pengumuman tersebut? Yang pasti, di beberapa gerai toko yang saya kunjungi, tampak beberapa pengunjung berbelanja dalam jumlah yang banyak.Â
Biasanya aktivitas borong-memborong yang demikian lazim terjadi menjelang Hari Raya Idul Fitri. Tentu pertimbangannya simpel dan sederhana saja; agar selama perayaan hari istimewa tersebut, orang tidak lagi direpotkan oleh kegiatan belanja aneka kebutuhan.
"Lain ladang, lain belalang. Lain lubuk lain ikannya. Lain dahulu, lain sekarang. Lain cerita karena corona." Mungkin ungkapan peribahasa yang dimodifikasi bebas sedemikian rupa dan dialihrupakan menjadi pantun tersebut bisa mengungkapkan alasannya.
Ramadan di Tengah Pandemi Corona
Tentu tidak mudah menjelaskan fenomena bagaimana asal muasal perkembangan virus jahat ini hingga kemudian bisa bercokol di Indonesia. Sejak diumumkan ke publik di awal Maret 2020 lalu, hijrah virus corona dari satu kota ke kota lainnya; yang disusul perpindahan antar provinsi, berlangsung begitu cepat dan masif.
Mobilitas manusia antar kota maupun antar provinsi, yang sebelumnya didahului oleh kasus impor dari negara-negara pandemi di luar Indonesia, menjadi "alat transportasi" yang sangat menentukan persebaran virus ini ke seluruh pelosok negeri.
Bila jumlah pasien yang ditemukan positif belum banyak, tentu usaha tracking yang dilakukan Pemerintah Pusat maupun pemerintah daerah akan menjadi efektif. Namun bila jumlah pasien positif sudah mencapai ratusan, bahkan ribuan, maka aktivitas tracking yang dilakukan pihak terkait tentu menjadi kian sulit.
Anggap saja, satu orang menginfeksi lima orang lainnya; maka tak terbayangkan bila yang terinfeksi menjadi beberapa ratus orang, berapa ribu orang yang harus di-tracking satu-persatu? Selain menjadi kian rumit dan memerlukan pengerahan banyak tenaga di lapangan, potensi terpaparnya para petugas tracking di lapangan pun kian besar.
Bayangkan saja dalam imajinasi kita masing-masing, awalnya pihak terkait hanya melakukan tracking kepada 2 pasien yang dinyatakan positif corona; dan per tanggal 25 April 2020, kasus positif corona di seluruh Indonesia sudah menembus angka 8.607 kasus. Berapa ribu orang yang harus di-tracking di lapangan?
Dan..., ketika di banyak kota mulai diberlakukan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar), bulan Ramadan pun tiba. Praktis, segala hiruk-pikuk dan pernak-pernik suasana yang biasanya menghiasi bulan suci yang penuh ampunan ini, "tidak bisa dihadirkan" kembali seperti saat Ramadan datang di tahun-tahun sebelumnya. Beda, ya merayakan bulan Ramadan di tengah pandemi corona?
PSBB Berjalan, Ibadah Ramadan Tetap Seiring Sejalan
Presiden Joko Widodo yang menjadi orang nomor satu di Indonesia akhirnya mengumumkan status darurat sipil untuk penanganan corona. Pengumuman itu disampaikan ke publik pada 30 Maret 2020 setelah corona dianggap kian meluas persebarannya di Indonesia. Status tersebut diterapkan untuk menjadikan kebijakan pembatasan sosial (physical distancing) skala besar lebih efektif demi memutus rantai penularan virus corona di Tanah Air.
Menurut Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Doni Monardo pelaksanaan darurat sipil di lapangan mengacu kepada tiga dasar (hukum), yaitu UU Nomor 24/2007 tentang Bencana, UU Nomor 6/2018 tentang Kesehatan, dan Perppu Nomor 23/1959 tentang Penetapan Bahaya yang diterbitkan di era Presiden Sukarno.
Selain itu, Pemerintah juga menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Covid-19. Perppu ini diharapkan bisa menjadi payung hukum bagi program pemulihan ekonomi secara nasional pasca terjadinya pandemi akibat virus corona.
Tanpa keberadaan perppu ini, Pemerintah akan kesulitan membiayai penanganan covid-19 dari APBN, mengingat defisit APBN ditetapkan maksimal 3%. Anggaran sebesar Rp 405,1 triliun yang dialokasikan pemerintah dari belanja kesehatan, perlindungan sosial, insentif, perpajakan, stimulus kredit, dan program pemulihan ekonomi nasional, kemungkinan akan membengkak atau berlipat ganda bilamana covid-19 tak kunjung berhasil ditangani.
Penerapan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) pun mulai diberlakukan di beberapa kota besar di Indonesia, tak terkecuali di Kota Banjarmasin. Beberapa hari menjelang penerapan PSBB, aparat terkait terlihat melakukan sosialisasi hingga ke kampung-kampung. Bahkan dari pengeras suara di beberapa masjid yang sempat saya dengar, disampaikan imbauan kepada warga setempat untuk tidak melaksanakan salat di masjid demi memutus rantai penyebaran covid-19. Warga pun kemudian disarankan untuk salat di rumah masing-masing demi kebaikan bersama.
Hal tersebut sejalan dengan Fatwa MUI (Majelis Ulama Indonesia) Nomor 14 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Ibadah dalam Situasi Terjadi Wabah Covid-19. Fatwa ini memberikan panduan kepada umat Islam di seluruh penjuru Tanah Air tentang tata cara penyelenggaraan ibadah selama masa pandemi covid-19. Fatwa ini mulai berlaku sejak pertama kali ditetapkan pada tanggal 16 Maret 2020 lalu. Dengan terbitnya fatwa ini, diharapkan umat Islam di seluruh Indonesia dapat melaksanakan ibadahnya, khususnya di bulan Ramadan ini dengan hati tentram dan tenang, sekaligus tetap mengikuti anjuran pemerintah daerah setempat.
Andai Tahun Ini Adalah Ramadan 2019
Andai tahun ini adalah Ramadan 2019, tentu kita masih dapat mengalami suasana Ramadan yang selalu kita rindukan. Masjid, surau, atau langgar yang pada hari-hari biasa mungkin hanya terisi sebagian, di kala Ramadan akan penuh sesak oleh umat yang melaksanakan salat berjamaah. Setelah pelaksanaan salat isya, masjid yang biasanya sepi di hari biasa, menjadi ramai oleh kegiatan tadarus hingga larut malam. Bahkan suasana tersebut bisa berlangsung hingga subuh dini hari.
Andai tahun ini adalah Ramadan 2019, saya berkesempatan menghadiri undangan acara buka puasa bersama. Acara reuni dengan para sahabat pun dengan anggota keluarga yang berasal dari jauh dapat terjadi di bulan istimewa ini.
Andai tahun ini adalah Ramadan 2019, pasti akan banyak anak-anak kecil yang sembari menanti saatnya berbuka puasa, akan bermain beramai-ramai di depan halaman masjid atau langgar. Suara-suara mereka yang lucu dan penuh kegembiraan menambah isimewanya bulan yang penuh ampunan ini.
Andai tahun ini adalah Ramadan 2019, menjelang pukul tiga dini hari, pasti terdengar suara orang-orang "bagarakan sahur" yang berkeliling kampung-kampung dan desa untuk membangunkan warga agar bangun tidur untuk sahur dan bergegas pergi menunaikan ibadah salat subuh berjamaah di masjid terdekat.
Andai tahun ini adalah Ramadan 2019, di setiap senja menjelang berbuka puasa, warga akan menyerbu pusat-pusat keramaian yang menjajakan aneka menu spesial. Orang-orang dari segala penjuru mata angin datang berduyun-duyun untuk mendapatkan menu idamannya. Dalam suasana ini, tak jarang tali silaturahmi terjalin kian erat dan obrolan yang menyejukan hati menjadi perekat.
Andai tahun ini adalah Ramadan 2019, saat menjelang magrib, masjid-masjid akan dipenuhi umat. Tua, muda, anak-anak, laki-laki dan perempuan, kaya-raya maupun warga biasa, semua bertandang untuk menjalankan salat berjamaah dengan niat penuh dan hati bahagia.
Andai tahun ini adalah Ramadan 2019, tentu suasananya berbeda dari Ramadan tahun ini. Ramadan 2020 yang ditandai dengan suasana sepi di ruang-ruang publik. Perjumpaan antar warga menjadi terbatas adanya dengan penerapan physical distancing di mana-mana.
Semoga wabah corona ini segera berakhir  dan tidak berlangsung berkepanjangan di bulan-bulan berikutnya. Mari kita bergandengan tangan, memadukan tekad dan semangat untuk mendukung imbauan pemerintah setempat. Semua untuk kebaikan kita, agar Kota Banjarmasin dan kota-kota lainnya di seluruh penjuru negeri menjadi sehat kembali.
Mari kita belajar untuk tetap bersyukur dan rendah hati. Dengan satu doa dan harapan kecil di Ramadan 2020 ini, "Insyaallah, semoga kita sekalian tidak dipertemukan lagi dengan virus corona pada Ramadan-Ramadan selanjutnya."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H