“Ajuuuur, duitku enteeeek!”. (Hancur, duitku habis – Bahasa Jawa)
Itu ungkapan yang dilontarkan Slamet saat secara tidak sengaja bertemu Bejo di depan warung kopi ujung gang yang tutup karena pandemi covid-19.
“Loh, bentar dulu Met, kamu ini tidak ada ujung pangkal, awal akhir, kok tiba-tiba ngomong begitu?”, timpal Bejo.
“Sudah sini, parkirkan dulu motormu, duduk di situ, coba ceritakan apa permasalahannya”, ujar Bejo kepada Slamet sambil menunjuk bangku panjang di depan warung yang tutup itu.
Slamet pun lalu duduk dan mulai menceritakan segala keluh kesahnya sehubungan dengan pandemi yang kini sudah memasuki bulan ke-5. Betapa sulitnya dia mencukupi kebutuhan rumah tangganya sehari-hari, biaya sekolah anak yang tidak ada potongan sementara beban biaya pulsa justru bertambah, istrinya yang mendadak jadi doyan berbelanja online, dan bagaimana dia sudah merelakan gelang emas pemberian orangtuanya dulu untuk digadaikan di pegadaian samping pasar.
Sehari-harinya Slamet adalah seorang pengendara ojek online. Biasanya pada siang hari dia sudah mangkal di dekat rumah makan cepat saji untuk menunggu orderan. Hari ini dia memutuskan untuk pulang lebih awal karena agak kurang enak badan dan pula cuaca saat itu memang amat panas.
Selama sesi curhat Slamet tadi, Bejo hanya manggut-manggut, dan sesekali menanggapi ringan untuk menunjukkan empati dan kepedulian sebagai sesama kawan lama.
Bejo sendiri adalah seorang pemandu wisata freelance. Biasanya dia bekerjasama dan bermitra dengan beberapa biro perjalanan wisata di kota Surabaya, mengantar turis keliling ke obyek-obyek wisata di Jawa Timur.
Namun, sudah semenjak 5 bulan ini dia tidak ada order. Untuk mencukupi kebutuhan keluarganya, saat ini dia berjualan masker hasil karya istrinya, untuk kemudian dia jual dengan mangkal di depan warung kopi yang sedang tutup ini.
“Kamu itu harus bersyukur Met”, ujar Bejo kepada Slamet yang sepertinya sudah kehabisan kata-kata.