Sayangnya hal yang sama tidak berlaku pada pemegang paspor hijau Republik Indonesia dengan cover gambar Garuda Pancasila.
Nyatanya, paspor RI tanpa didukung pengurusan visa in advance hanya bisa diterima langsung oleh 74 negara. Bahkan, The Sovereign Man sebagai salah satu lembaga pemeringkat paspor menempatkan paspor RI di peringkat #109 dari total 198 penerbit paspor.
Untuk level ASEAN, peringkat paspor kita bahkan masih jauh tertinggal di bawah Singapura, Brunei, Malaysia, Timor Leste dan Thailand.
Tidak dapat dipungkiri bahwa pariwisata adalah the shining star of economy. Kalau sudah bicara manfaat ekonomi dari pariwisata, maka semua mata akan melotot dan melek.
Namun demikian, benarkah kepariwisataan kita surplus? atau jangan-jangan malahan defisit?
Agar proporsional, kita perlu melihat juga potensi kerugian secara ekonomi dari pariwisata ditinjau secara makro.
Dari data DJU DepHub, kita bisa temukan bahwa ada 37,291,525 penumpang yang bepergian ke luar negeri pada tahun 2019. Kalau dihitung goblok-goblokan saja, tanpa mempertimbangkan faktor-faktor lainnya, angka ini dikurangi dari jumlah wisatawan asing yang masuk ke Indonesia pada periode yang sama 15 juta, maka akan ditemukan selisih angka 22 jutaan.
Let’s be honest, tidak perlu banyak profesor untuk berasumsi bahwa potensi defisit pariwisata itu mungkin terjadi di Indonesia.
Mengapa?
Karena angka wisatawan mancanegara yang masuk ke Indonesia pun juga sudah melalui proses penggelembungan data. Kasarannya begini, pada tahun 2019 ada 1,178,381 wisatawan asal Timor Leste yang masuk ke Indonesia dan ada 2,980,753 wisatawan asal Malaysia.