Nadiem makarim kembali dengan langkah revolusionernya dalam bidang pendidikan yang sebelumnya menghapus UN (ujian nasional) dan menggantikannya menjadi asesmen kompetisi minimum dan survei karakter hingga pada tanggal 24 januari 2020 nadiem mengeluarkan kebijakan yang bernamakan "merdeka belajar: kampus merdeka".Â
Kebijakan tersebut memiliki empat poin inti seperti pembukaan prodi yang di permudah, sistem akreditasi yang dibuat mudah dan kapanpun bisa, karpet merah bagi PTN BLU (badan layanan umum) dan SATKER jika ingin menjadi PTN BH (berbadan hukum), dan belajar diluar prodi, serta pengubahan definisi dari SKS.Â
Kebijakan kampus merdeka ini sudah memiliki payung hukum yaitu permendikbud no.3 tahun 2020 tentang standar nasional perguruan tinggi, permendikbud no.4 tahun 2020 tentang perubahan perguruan tinggi menjadi PTN BH, permendikbud no.5 tahun 2020 tentang akreditasi perguruan tinggi dan prodi, permendikbud no.7 tahun 2020 tentang pendirian, perubahan, pembubaran PT dan PTS.
Nadiem sangat mengelu-elukan kebijakan ini yang dimana menurutnya kebijakan ini melepas belenggu kampus agar lebih mudah bergerak dan diharapkan mahasiswa kedepannya sudah sesuai dengan apa yang dibutuhkan pasar. Berbicara masalah pasar tak ayal dan tak bisa lepas dari peran seorang kapitalisme.Â
Menurut Slavoj zizek seorang filsuf psikoanalitik asal Slovenia menggunakan teori le grand autre (yang-lain besar) yang dimana teori ini berdasarkan dari seoring filsuf bernama Jacques lacan.Â
Zizek menggunakan teori tersebut dalam memandang kebudayaan kapitalis yang menurutnya "hasrat apapun yang kita miliki selalu dikondisikan oleh kekuatan kapital".Â
Penulis menganalogikan teori tersebut seperti, ketika kita lulus/belum dari sebuah perguruan tinggi (PT) pastinya kita memiliki hasrat untuk langsung mendapatkan pekerjaan atau langsung menjadi seorang pekerja dalam hal tersebut keinginan atau hasrat itu tak jauh andil dari seorang kapitalis yang notabene sangat takut terhadap inovasi-inovasi yang bisa menggerus usaha mereka. Bagaimana seorang mahasiswa akan dituntut hanya akan menjadi karyawan.Â
Oleh karena itu kita sebagai mahasiswa harus terus mengkrtisis kebijakan-kebijakan baru pemerintah agar tidak menjadi penyesalan kedepannya.
Pertama, di permudahnya pembukaan prodi, dalam hal ini penulis setuju dan sekaligus skeptis tentang bagaimana dipermudahnya pembukaan prodi disini bukan hanya mengutamakan masalah relevansi dengan pasar tetapi juga memperhitungkan masalah keilmuaan dan melaksanakan sebagaimana yang terdapat didalam pasal 31 UUD 1945 ayat 3 yang berbunyi "pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta ahlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang dimana diatur dalam UUD.Â
Bagaimana nantinya sebuah prodi bisa juga melatih mahasiswa untuk berakhlak mulia sekaligus meningkatkan takwa mereka. Masih adanya pengecualian bagi prodi bidang kesehatan dan pendidikan tentunya akan menimbulkan pertanyaan seperti "merdeka dalam kebijakan ini untuk siapa?" sedangkan dalam bidang kesehatan sendiri ada jurusan yang sangat dipelukan seperti jurusan radiologi, jurusan keselamatan dan kesehatan kerja dll.Â
Dan yang paling membuat risau didalam dipermudahnya pembukaan prodi ini ialah terjadinya komersialisasi pendidikan yang dimana pembukaan dari sebuah prodi bukannya berorientasi kepada keilmuan maupun terapan, tapi malah hanya menjadi sumber tambahan pemasukan bagi kampus dan jika itu terjadi tentunya sangat mencoreng esensi dari sebuah perguruan tinggi.
Kedua, dalam poin kedua masalah akreditasi ini tentunya sangat bagus karena ketika seseorang lulus dari jurusannya pastinya yang menjadi salah satu penilaian dari perusaahn untuk menerima seorang tersebut diluar karakteristik kepribadiannya ialah nilai akreditas dari tempat ia mengemban ilmu.Â
Ini menjadi bukti bahwa dalam lingkungan pasar di Indonesia akreditasi masih membawa  peranyang menentukan. Tetapi sebuah kebijakan tidak ada yang bersih seutuhnya, didalam kebijakan poin kedua ini penulis masih khawatir tentang bagaimana nantinya civitas akadamik membagi fokusnya yang seharusnya berfokus dalam mencerdaskan kehidupan bangsa tetapi dengan adanya akreditasi ini justru akan disibukkan dengan proses-proses administrasi dari peningkatan akreditasi yang rumit.
Ketiga, diberinya karpet merah bagi PTN untuk menjadi PTN BH, tentunya dalam kebijakan kampus merdeka ini yang menjadi hal yang sangat dikritisis dan menjadi perbincangan yang panas oleh kalangan mahasiswa ialah terkait poin ketiga ini.Â
PTN ketika berubah status menjadi badan hukum akan memiliki kewenangan untuk mengelola otonomi keuangannya sendiri dll, serta pemotongan subsidi dari pemerintah agar PT dapat semakin bersifat mandiri.Â
Tentunya keputusan untuk menjadi PTN BH sangat menggiurkan karena dilihat dari peringkat universitas yang dikeluarkan ristekdikti rata-rata 5 besar dalam pemeringkatan tersebut ialah PTN yang sudah berstatus badan hukum.Â
Dibalik hal tersebut terdapat mimpi buruk ialah akan terjadinya komersialisasi pendidikan sehingga menimbulkan ketakutan dikalangan mahasiswa terutama mahasiswa yang memiliki kekurangan ekonomi karena ketika sebuah PTN BH gagal dalam keuangan mereka (defisit) otomatis jalan terdekat untuk kembali menstabilkan keuangan nya ialah melalui UKT mahasiswa.Â
Disini penulis tidak menitik beratkan pada masalah UKT karena permasalahan ini sekiranya sudah bisa diatasi dengan maraknya beasiswa-beasiswa yang berada di sekitar kita. Tetapi disini penulis lebih menyoroti bagaimana kesiapan bagi sebuah PTN yang ingin menjadi PTN BH yaitu harus adanya kepastian dari plan B birokrasi kampus jika sekirannya plan A (mengelola keuangan dll) gagal.Â
Langkah apa yang akan ditempuh oleh pihak kampus yang dimana langkah tersebut sebisa mungkin tidak memberatkan mahasiswa supaya birokrasi kampus tidak cuma sekedar lip service dalam kebijakan ini.Â
Pembagian fokus juga akan terjadi dalam birokrasi yang awalnya mungkin hanya berfokus kepada pendidikan hingga menjadi dua cabang fokus yaitu pendidikan dan unit usaha yang menyokong keuangan universitas. Bagaimana tridharma perguruan tinggi tetap dijunjung dan juga esensi dari adanya sebuah univeritas tetap terjamin.
Keempat, hak belajar tiga semester diluar prodi yang berarti di prodi asal hanyalah sebanyak 5 semester. Dalam menganalisis  hal tersebut dibagi menjadi dua fokus yaitu pertama,  data mengambil sks diluar perguruan tinggi sebanyak dua semester dan yang kedua dapat mengambil sks di prodi yang berbeda di PT yang sama sebanyak satu semester.
Analisis dari fokus pertama ialah mahasiswa dapat mengambil sks diluar PT yang dimana bisa diisi dengan kegiatan magang, proyek di desa, penelitian, wirausaha dll.Â
Didalam hal ini yang menjadi sorotan ialah masalah magang karena menurut penulis tidak semua mahasiswa memiliki minat dan bakat didalam pemenuhan kegiatan selain magang, jikapun ada mahasiswa yang banyak memliki minat di wirausaha tetapi tidak banyak pula yang memiliki modal yang memadai inilah yang menjadi pr pemerintah dalam pendanaan modal bagi mahasiswa yang merintis usahanya.Â
Balik ke fokus yaitu magang dalam penerapan ini tentunya mahasiswa akan dibentuk wataknya bukan sebagai pencipta inovasi tetapi menjadi pegawai kantoran yang berbaju rapi.
Dan dalam hal ini kita akan mencoba meletakkan diri kita menjadi seorang manajer perusahaan yang dimana di depan kita terdapat dua pilihan yaitu menggunakan lulusan fresh graduate ataupun pengangguran baru lulus dari univ yang notabene ketika diperkerjakan harus ada kontrak yang jelas dan gaji yang tetap pula.Â
Disisi lain kita ada pillihan menggunakan tenaga magang yang kualitas tidak kalah dari para fresh graduate tetapi bisa digaji/upah dengan sukarela dan bisa kapanpun di PHK. Tentunya kita akan memilih pilihan kedua tersebut, karena dalam jiwa seorang pengelola sangat mendasar pada teori Adam smith yaitu "dengan pengorbanan (modal) yang sekecil-kecilnya untuk memperoleh hasil (keuntungan) sebesar-besarnya".Â
Tentunya hal ini akan sangat kontradiksi dengan tujuan awal yaitu ingin mempersiapkan mahasiswa pasa pasar yang justru akan menimbulkan penyebab-penyebab pengangguran baru dikalangan lulusan mahasiswa.Â
Fokus kedua mengambil sks di prodi yang berbeda di PT yang sama tentunya hal ini mungkin sangat bagus untuk menunjang ke multi talent an sesesorang yang bisa mempelajari hal diluar prodinya.Â
Dibalik hal itu tentunya akan banyak mahasiswa yang berfokus mengambil ke sisi mata kuliah inti/terapan sehingga melupakan matakuliah prerequisite atau yang disebut mata kuliah prasyarat seperti contoh si A mengambil matakuliah implementasi kebijakan publik di FIA yang dimana sebelum mempelajari hal tersebut si A seharusnya mempelajari dasaran dulu seperti pengantar ilmu administrasi publik agar tidak timbulnya mis konsepsi dalam memandang kebijakan publik.
Suatu kebijakan tidak akan bisa benar-benar putih (menguntungkan seutuhnya) maupun benar-benar hitam (merugikan seutuhnya) tinggal dimana kita bisa membantu dalam mengurangi nilai hitam dari sebuah kebijakan yang dikeluarkan tersebut dengan sama-sama mengkritisinya.Â
Pemerintah juga sebagai governance sudah seharusnya menerapkan prinsip-prinsip good governance  seperti adanya transparasi terkait kebijakan, adanya akuntabilitas yang jelas dan yang paling penting adanya pastisipasi yang dimana dalam kebijakan kampus merdekap artisipasi bisa berasal mahasiswa dan civitas akademis yang lain.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H