24 UU
26%
2012
64 RUU
32 UU
50%
Tidak hanya dari segi kuantitas saja yang tidak tercapai, tapi upaya melahirkan Undang-undang yang memenuhi rasa keadilan dan tidak melenceng dari UUD 1945 juga masih menjadi tantangan tersendiri bagi parlemen. Berdasarkan data dari Mahkamah Konstitusi (MK), dalam kurun waktu 9 tahun sejak didirikannya MK pada tahun 2003 sampai dengan bulan Juli 2012,MK telah membatalkan 322 Undang-Undang dari total 460 UU yang diuji.
Menurut Ketua MK Mahfid MD, turunnya kualitas UU yang dibuat oleh pemerintah dan DPR disebabkan oleh beberapa indikasi. Indikasi itu adalah adanya ketidakprofesionalan pembuat UU dan kuatnya politik transaksional.
"Banyak alasan yang melatarbelakangi sebuah norma UU dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945. Di antaranya, bisa disebabkan oleh kurangnya profesionalisme pembentuk UU dan dugaan berbagai kepentingan dengan tukar-menukar kepentingan politik dalam pembentukan UU," (Mahfud MD)
Korupsi di Indonesia; Mayoritas pada Pengadaan Barang dan Jasa
Sebagian besar tindak pidana korupsi yang merugikan negara berkaitan dengan APBN/APBD. Tipe korupsi yang mayoritas menjadi praktek di Indonesia berkaitan dengan pengadaan barang dan jasa. Korupsi pengadaan barang dan jasa adalah yang paling lumrah terjadi dan mudah dilakukan dengan melakukan mark up (penggelembungan harga) dan penyalahgunaan kewenangan. "Lebih dari 60 persen yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pengadaan barang dan jasa," Johan Budi, Juru Bicara KPK.
Sejak dilahirkannya pada tahun 2003, KPK mengalami tantangan yang luar biasa. Penggembosan dilakukan secara terang-terangan oleh sebagian anggota DPR mapun oleh lembaga penegak hukum lainnya yang merasa khawatir dengan upaya penindakan korupsi yang selama ini dilakukan oleh KPK. Tindakan paling kentara adalah upaya sebagian fraksi DPR RI untuk melakukan revisi UU KPK dengan menghilangkan fungsi penuntutan dan pengetatan penyadapan.
Pada tahun 2012, di bidang penindakan, KPK melakukan 74 kegiatan penyelidikan, 68 penyidikan, dan 60 kegiatan penuntutan, baik kasus baru maupun sisa penanganan pada tahun sebelumnya. Selain itu juga melakukan eksekusi terhadap 28 putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Sebanyak 111 miliar rupiah lebih telah dimasukkan ke kas negara dalam bentuk Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari penanganan TPK.
Dalam Laporan Trend Korupsi semester I tahun 2012 yang dikeluarkan oleh Indonesia Corruption Watch (ICW), ICW mencatat terdapat 44 kader partai politik yang terjerat kasus korupsi dimana 21 orang berasal dari mantan DPR/DPRD, 21 orang merupakan Kepala Daerah/Mantan Kepala Daerah, serta 2 orang pengurus partai. Kader Partai Golkar paling banyak terjerat kasus korupsi (13 kader), diposisi kedua Partai Demokrat (8 kader) dan disusul PDIP dengan 7 kader, PAN 6 kader, PKB 3 kader, PKS 2 kader, Gerindra 2 kader, dan PPP 2 kader. Hal ini setidaknya memberikan bukti bahwa partai politik sebagai pilar demokrasi telah rapuh dengan tindakan korupsi yang dilakukan oleh petinggi-petinggi partai tersebut.
Inefisiensi Anggaran Penanggulangan Kemiskinan
Berdasarkan pada rekapitulasi yang dilakukan oleh Kementrian Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Gambar 1.1), jumlah anggaran dari APBN untuk penanggulangan kemiskinan selalu naik. Pada tahun 2010 anggaran untuk penanggulangan kemiskinan yang bersumber dari APBN naik Rp. 27,8 triliundari Rp. 66,2 triliun pada tahu sebelumnya menjadi Rp. 94 triliun atau setara dengan kenaikan 42%.Namun angka kemiskinan hanya mampu turun kurang dari 1%. Anggaran yang digelontorkan akan lebih banyak lagi apabila kita juga melakukan perhitungan terhadap anggaran yang bersumber dari 33 provinsi dan 497 Kabupaten/Kota di Indonesia. Kondisi tersebut tentu seharusnya menjadi bahan diskursus bagi para pengambil kebijakan, karena dari data tersebut menunjukkan bahwa besar-kecilnya anggaran yang digelontorkan untuk program-program penanggulangan kemiskinan ternyata tidak secara signifikan mampu mempercepat penurunan angka kemiskinan.
Gambar 1.1
Pusat Penelitian Ekonomi LIPI pada tahun 2011 menghitung biaya yang harus dikeluarkan untuk mengentaskan seseorang dari kemiskinan, dengan cara membagi besaran anggaran kemiskinan dengan besarnya penurunan jumlah penduduk miskin setiap tahun selama 2006-2010. Hasilnya didapat bahwa untuk penurunan satu orang miskin pada 2007 diperlukan biaya Rp 19,8 juta. Sedangkan untuk 2008 dan 2009 biaya yang diperlukan ternyata sedikit lebih besar, yaitu Rp 23,2 juta dan Rp 24,9 juta. Sedangkan dari APBN, biaya pengentasan seseorang dari kemiskinan pada 2010 menyedot dana nyaris dua kali lipat sebesar Rp 47 juta.
Banyak yang meragukan hasil perhitungan LIPI di atas, salah satunya karena perhitungan tersebut tidak mengakomodasi nilai riil atau besaran inflasi setiap tahun dari anggaran dimaksud. Namun jikapun besaran inflasi diperhitungkan, hasilnya ternyata juga tidak mempunyai pengaruh signifikan. Hal ini disebabkan karena angka inflasi selama periode 2007-2010 menunjukkan tren menurun, kecuali inflasi 2008 yang menembus dua digit sebesar 11,1%.
Penulis adalah Senior Program Officer di Partnership for Governance Reform (Kemitraan) dan Peneliti di Lembaga Analisa Ekonomi Politik dan Kebijakan Publik (LANSKPAP)
Data rilis oleh Kemenkokesra di http://data.menkokesra.go.id/content/anggaran-penanggulangan-kemiskinan-2002-2010
Carunia Mulya Firdausy,“Anggaran Kemiskinan Belum Jadi Obat Derita”. LIPI, 2011
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H