Mohon tunggu...
Agung Wredho
Agung Wredho Mohon Tunggu... karyawan swasta -

My goal become good citizens

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Menyalakan Kembali Kompor Biomassa

20 Agustus 2015   07:30 Diperbarui: 20 Agustus 2015   07:30 374
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ditengah pemerintah dan PT Pertamina tengah melakukan uji coba sistem distribusi tertutup untuk penyaluran elpiji 3 kilogram, tumbuh optimisme peneliti untuk lagi meneliti dan mengembangkan kompor biomassa tanpa asap. Kompor biomassa pun diharapkan kembali menyala

Pernah dengar kompor biji jarak karya Profesor Eko Widaryanto dari Universitas Brawijaya (UB), Malang? Ya, Eko pernah menciptakan kompor UB-16 saat pemerintah menggulirkan program substitusi minyak tanah dengan LPG (Liquefied Petroleum Gas) pada 2007.

Kala itu pemerintah juga sedang gencar mempromosikan penanaman jarak pagar (Jetropha curcas L) untuk mensukseskan program Desa Mandiri Energi. Tak pelak jika kompor dengan bahan dasar inti biji jarak pagar digadang-gadang menjadi alternatif pilihan bagi masyarakat yang enggan bermigrasi ke kompor gas.

Serangkaian hasil uji kelayakan pun memungkinkan kompor UB-16 yang menggunakan biji jarak sebagai bahan bakar kompor untuk skala rumah tangga. Dengan bahan bakar 200 gram inti biji (kernel) jarak pagar dapat menghasilkan energi panas selama 1 jam.

Tapi permasalahannya, dalam perjalanannya bahan bakar biji jarak semakin langka untuk didapatkan. Program Desa Mandiri Energi tidak berlanjut, petani yang terlanjur menanam tanaman jarak pagar terpaksa harus gigit jari karena hasil panen mereka tidak ada harganya dan tidak teserap pasar.

Kendati demikian, mau tidak mau, dapur masyarakat harus tetap mengepul. Mereka yang sebelumnya enggan menggunakan kompor gas berusaha beradaptasi karena kondisi. Program konversi minyak tanah ke LPG 3 kilogram pun terus “membumi”, sebanyak 42 juta keluarga beralih menggunakan kompor gas dalam periode tahun 2007-2012. Konsumsi LPG tersebut terus mengalami pertumbuhan hingga rata-rata 24 persen per tahun.

Imbasnya, kini pemerintah harus menanggung beban subsidi LPG 3 kilogram lebih dari 28 triliun rupiah. Harga LPG 3 kilogram di bawah nilai keekonomiannya ini juga diperkirakan akan menyebabkan PT Pertamina (Persero) bakal menanggung kerugian 1,56 triliun rupiah pada tahun ini.

Salah satu cara menyiasatinya, pemerintah dan PT Pertamina tengah melakukan uji coba sistem distribusi tertutup untuk penyaluran elpiji 3 kilogram di Batam, Kepulauan Riau, hingga akhir tahun. Distribusi tertutup itu diatur melalui kartu kendali yang diisi dengan saldo 42-45 ribu rupiah untuk rumah tangga yang dikategorikan miskin. Tujuannya, agar golongan mampu tidak membeli LPG yang disubsidi pemerintah.

Optimisme Peneliti

Di balik kebijakan tersebut, rupanya telah menumbuhkan optimisme peneliti Muhammad Nurhuda, dari Jurusan Fisika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, UB, untuk kembali meneliti dan mengembangkan kompor biomassa tanpa asap. Pasalnya, harga bahan bakar biomassa akan semakin kompetitif pada saat era subsidi tertutup LPG mulai diberlakukan.

“Mudah-mudahan kompor biomassa akan menjadi altenatif ketika era subsidi tertutup LPG mulai diberlakukan, yang insya Allah pelaksanaanya mulai tahun depan,” tutur dia.

Nurhuda begitu bersemangat karena sejatinya telah meneliti dan mengembangkan kompor biomassa dengan sistem gasifikasi terpanaskan dan pembakaran secara turbulen. Kompor tersebut terinspirasi kompor biji jarak karya Profesor Eko.

“Dulu, ketika saya melihat karya pak Eko, terbersit dalam benak saya, kenapa kok enggak pakai kayu saja yang lebih melimpah ketersedianya ketimbang biji jarak? Dari situ kemudian muncul ide membuat kompor biomassa,” kata Nurhuda, kepada Koran Jakarta, di Tangerang Selatan, beberapa waktu lalu.

Sejurus kemudian, Guru Besar FMIPA itu mengerahkan mahasiswa bimbingannya yang hendak menyelesaikan tugas akhir untuk meneliti dan mengembangkan kompor biomassa, terutama terkait efisiennya. Mereka pada awalnya mereplikasi beberapa desain kompor biomassa yang ada di internet. Namun beberapa skema di internet tersebut fungsinya ternyata tidak sesuai harapan. “Akhirnya kami berjalan dengan ide sendiri dan alhamdulillah bisa berhasil,” tutur Nurhuda.

Prinsip sistem kompor gasifikasi terpanaskan, bahan bakar dibakar secara parsial dengan menggunakan pasokan udara terbatas, kemudian asap tersebut dibakar dengan pasokan udara sekunder. Walhasil, nyala api yang lebih bersih ketimbang pembakaran langsung. Tungku dengan pembakaran dua tahap itu kemudian mereka sebut sebagai tungku gasifikasi.

Namun skema tersebut memunyai banyak kendala. Mereka kemudian mencoba menggunakan mekanisme pemanasan terlebih dahulu (pre-heating), dimana udara primer yang digunakan untuk menbakar bahan bakar secara parsial mendapatkan pemanasan pendahuluan.

“Ibaratnya, mesin kendaraan kalau masih dingin kurang lancar jalannya, namun setelah panas, menjadi lebih lancar” papar Nurhuda.

Selain itu, mereka menggunakan mekanisme counter flow burning, dimana udara sekunder yang membakar asap arahnya dibuat menentang arah asap yang bergerak vertikal. Gerakan mengaduk atau turbulen ditimbulkan aliran gasifikasi terpanaskan dan aliran udara sekunder. Mekanisme itulah yang menyebabkan bisa lebih efisien dibandingkan kompor pada umumnya.

“Efisiensi kompor biomassa kami relatif tinggi dibandingkan dengan kompor biomassa sejenis. Kualitas nyala api juga lebih bersih,” klaim pria yang mendapat gelar Dr rer nat dari Fakultat fur Physik, Universitat Bielefeld, Jerman.

Selain itu, pengguna tidak perlu menunggui api, karena api dapat menyala terus lebih dari 1 jam tanpa penambahan bahan bakar. Bila digunakan bahan bakar pellet, nyala api praktis bebas asap seperti halnya kompor minyak tanah. Adapun alternatif bahan bakar selain pellet adalah cangkang sawit kasar, kulit kemiri, atau buah busuk kelapa sawit.

Kini, Nurhuda terus berusaha menyempurnakan kompor biomassa yang telah dijual kurang dari 200 ribu rupiah di pasaran agar bisa benar-benar bersaing dengan kompor gas. “Mungkin perlu dipikirkan bagaimana cara menghidupkan api secara instan, penambahan bahan bakar secara kontinyu sehingga dapat digunakan untuk memasak dalam waktu lama, misalkan hingga 3 jam,” harap dia. 

 

Bahan Bakar Biomassa Versus LPG

Motivasi peneliti Muhammad Nurhuda, dari Jurusan Fisika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Brawijaya (UB) terus meneliti dan mengembangkan kompor biomassa tak jauh berbeda dengan para pendahulunya, yaitu menjadi alternatif bagi kompor minyak tanah ataupun LPG.

Namun, dia mengakui untuk bisa bersaing dengan kompor gas berbahan bakar LPG masih terasa berat. Bahan bakar LPG di Indonesia yang dibandrol sekitar 5500 rupiah per kilogram (kg) masih jauh di bawah harga keekonomiannya, yaitu 12 ribu rupiah per kg.

Harga LPG Indonesia juga lebih murah dibandingkan harga LPG di negara-negara ASEAN. Sebagai contoh, Malaysia sekitar 0.59-0.68 dolar AS per kg, Thailand 0.8 dolar AS per kg, Laos 1.57 dolar AS per kg, Myanmar 1.08 dolar AS per kg, Filipina 1.38-1.51 dolar AS per kg, dan Kamboja 1.51 per kg.

“Selama LPG masih disubsidi, rasanya sulit bisa bersaing dengan LPG,” tutur Guru Besar FMIPA itu.

Tapi akan lain cerita, sambung dia, jika LPG kelak sudah dilepas dengan harga pasar. Kompor biomassa dengan bahan bakar pellet, apalagi cacahan kayu bakar, bisa alternatif yang sangat menarik dari sisi kehematan. Apalagi 1kg LPG mempunyai kandungan energi yang sama dengan 3.5 kilogram (kg) kayu atau pellet.

 

Perbandingan Harga

Hitung-hitungan kasarnya sebagai berikut. “Berapa sih harga 1kg kayu bakar? Paling sekitar 600 rupiah. Jadi jika memasak dengan kompor gas butuh 1 kg LPG dengan harga nonsubsidi sebesar 12 ribu rupiah, dengan kompor biomassa butuh kayu bakar seharga 600 rupiah dikalikan 3.5 yang berarti 2.100 rupiah,” jelas Nurhuda.

Biaya menggunakan kompor biomassa dengan bahan bakar pellet pun masih lebih murah. Jika digunakan pellet biomassa seharga 1600 rupiah per kg, biaya diperlukan sebesar 5600 rupiah, masih lebih rendah ketimbang LPG non subsidi 12 ribu rupiah.

“Dengan beralih ke pellet biomassa, rakyat memperoleh sumber energi murah, relatif bersih, praktis, dan berkelanjutan,” tandas Nurhuda.

Berdasarkan hitung-hitungan tersebut, sambung dia, industri besar saat ini tentu sedang menunggu untuk memproduksi kompor biomassa ini. Pasalnya, sumber biomassa sangat melimpah di seluruh tanah air, seperti dari limbah pertanian, perkebunan hingga ke sampah organik.

Pada sisi lain, sebagian besar kebutuhan LPG di Indonesia diperoleh dari impor dari pasar internasional, baik dalam bentuk jadi atau crude oil. LPG masih harus impor secara langsung sebesar 60 persen, hasil pengilangan dalam negeri 20 persen, dan dari lapangan gas 20 persen.

Pertanyaannya, “Rakyat menikmati kenyamanan LPG dengan harga kurang dari separo harga sesungguhnya. Sampai kapan keuangan pemerintah mampu mendukung?” pungkas Nurhuda.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun