Mohon tunggu...
Agung Webe
Agung Webe Mohon Tunggu... Konsultan - wellness coach di Highland Wellness Resort

Makan dengan makanan yang kita olah sendiri dengan bumbu organik tanpa perasa dan bahan kimia, dapat menyembuhkan hampir semua penyakit.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Subjektivitas Agama

17 Desember 2024   09:01 Diperbarui: 17 Desember 2024   09:01 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Perang Bosnia. Foto/REUTERS

Pernahkah Anda bertemu dengan seseorang yang keyakinannya tentang agama begitu berbeda dari Anda, namun hidupnya begitu damai, penuh kasih, dan menginspirasi? Atau sebaliknya, pernahkah Anda mendengar seseorang yang merasa keyakinannya paling benar, tapi perilakunya malah menyulut konflik atau permusuhan? Fenomena ini sering membuat kita berpikir ulang: apa sebenarnya makna agama? Dan bagaimana kita seharusnya memahaminya?

Agama, pada dasarnya, adalah wilayah yang sangat personal. Ia menyentuh inti terdalam dari siapa kita, bagaimana kita melihat dunia, dan apa tujuan hidup kita. Dalam istilah yang lebih sederhana, agama adalah subjektivitas. Bukan dalam arti mengabaikan kebenaran atau logika, tetapi dalam pengertian bahwa apa yang kita yakini benar tentang agama adalah cerminan dari pengalaman, pemahaman, dan perjalanan spiritual kita masing-masing.

 

Setiap orang memiliki perjalanan spiritual yang unik. Apa yang dirasakan sebagai "benar" bagi seseorang belum tentu dirasakan sama oleh orang lain. Misalnya, bagi seseorang, meditasi mungkin menjadi cara mendekatkan diri kepada Tuhan, sementara bagi yang lain, doa secara verbal adalah bentuk komunikasi yang paling bermakna. Keduanya valid karena masing-masing dirasakan benar dalam pengalaman batin mereka.

Namun, subjektivitas ini sering kali salah dipahami. Kita cenderung melihat keyakinan orang lain melalui kacamata keyakinan kita sendiri, lalu menilai apakah itu benar atau salah. Padahal, kebenaran dalam konteks agama tidak bisa diukur dengan alat ukur yang seragam. Ia lahir dari kedalaman hati dan pengalaman individu.

Salah satu contoh menarik adalah ketika saya berbincang dengan seorang teman yang atheis. Baginya, konsep Tuhan tidak masuk akal, tetapi ia memiliki etika dan moralitas yang luar biasa. Ia membantu sesama tanpa pamrih, hidup sederhana, dan menjaga harmoni dengan alam. Sementara itu, saya mengenal seseorang yang begitu religius, tetapi kerap kali menghakimi orang lain dan memicu konflik dalam komunitasnya. Siapa di antara mereka yang lebih "beragama"? Pertanyaan ini menggugah kesadaran saya bahwa agama bukan sekadar soal ritual atau doktrin, melainkan tentang bagaimana keyakinan itu memengaruhi tindakan kita.

 

Agama menjadi bermakna ketika ia membantu seseorang menjadi lebih baik, lebih damai, dan lebih berdaya. Keyakinan subjektif yang dimiliki seseorang seharusnya mampu mengarahkan dirinya untuk hidup dengan cara yang lebih bermakna. Misalnya, seseorang yang percaya pada konsep kasih universal akan berusaha mencintai dan menghormati orang lain, terlepas dari perbedaan keyakinan. Atau seseorang yang yakin bahwa semua makhluk adalah ciptaan Tuhan akan menjaga lingkungan dan bersikap welas asih terhadap hewan.

Keyakinan yang seperti ini bukan hanya membuat hidup seseorang lebih baik, tetapi juga berdampak positif pada orang lain. Ia menjadi inspirasi, membawa harmoni, dan memperluas kebaikan. Inilah esensi dari agama yang memberdayakan: keyakinan subjektif yang membawa manfaat nyata, baik bagi diri sendiri maupun bagi dunia.

 

Namun, tidak semua keyakinan subjektif membawa manfaat. Ada kalanya seseorang begitu yakin bahwa agamanya adalah satu-satunya yang benar, sehingga ia merasa berhak menghakimi, menindas, atau bahkan menyakiti orang lain yang berbeda pandangan. Keyakinan seperti ini justru menciptakan kekacauan dan permusuhan. Alih-alih membawa kedamaian, ia menjadi sumber konflik.

Misalnya, kita sering mendengar tentang konflik antaragama atau bahkan konflik internal dalam satu agama. Ironisnya, konflik ini sering kali lahir dari hal-hal yang sebenarnya sangat subjektif, seperti tafsir kitab suci atau perbedaan praktik ritual. Ketika keyakinan subjektif seseorang digunakan sebagai senjata untuk merendahkan atau melukai orang lain, maka keyakinan itu kehilangan esensinya sebagai jalan menuju kebaikan.

 

Saya sering merenungkan bagaimana agama dan keyakinan memainkan peran dalam hidup. Saya percaya bahwa setiap orang berhak atas keyakinannya sendiri, selama keyakinan itu membawa manfaat, baik bagi dirinya maupun bagi orang lain. Dalam pengalaman saya, keyakinan yang paling bermakna adalah yang memupuk kasih, kedamaian, dan rasa saling menghormati.

Ada satu momen yang sangat berkesan bagi saya. Ketika berada di sebuah komunitas lintas agama, saya melihat bagaimana orang-orang dari latar belakang yang sangat berbeda bisa duduk bersama, berbagi cerita, dan bekerja sama untuk membantu mereka yang membutuhkan. Tidak ada yang merasa superior. Tidak ada yang memaksakan keyakinan. Mereka hanya berfokus pada satu hal: menciptakan kebaikan. Momen itu mengajarkan saya bahwa esensi agama bukan terletak pada label atau doktrin, melainkan pada bagaimana ia diterjemahkan dalam tindakan.

Lalu, bagaimana kita menyikapi subjektivitas dalam agama? Saya percaya bahwa jalan tengah adalah kuncinya. Kita perlu menghormati keyakinan orang lain, sekaligus menjaga agar keyakinan kita sendiri tidak merugikan orang lain. Ini bukan berarti kita harus mengabaikan nilai-nilai yang kita pegang. Sebaliknya, ini berarti kita berusaha untuk lebih bijaksana, lebih terbuka, dan lebih fokus pada esensi agama: cinta, kedamaian, dan harmoni.

Subjektivitas dalam agama bukanlah kelemahan. Ia adalah kekayaan. Ia memungkinkan kita untuk mengeksplorasi makna terdalam dari kehidupan dan menemukan cara-cara unik untuk terhubung satu dan lainnya. Tetapi, subjektivitas ini harus selalu diarahkan pada kebaikan. Ketika keyakinan kita membantu kita menjadi lebih baik, lebih damai, dan lebih memberdayakan, maka ia benar-benar bermanfaat. Sebaliknya, ketika keyakinan kita justru membuat kita merugikan orang lain, maka kita perlu berhenti sejenak dan bertanya: apakah agama ini benar?

Pada akhirnya, agama adalah perjalanan. Ia bukan soal mencapai tujuan, tetapi soal bagaimana kita berjalan. Selama perjalanan itu membuat kita dan orang-orang di sekitar kita lebih baik, maka kita sudah berada di jalur yang benar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun