Namun, tidak semua keyakinan subjektif membawa manfaat. Ada kalanya seseorang begitu yakin bahwa agamanya adalah satu-satunya yang benar, sehingga ia merasa berhak menghakimi, menindas, atau bahkan menyakiti orang lain yang berbeda pandangan. Keyakinan seperti ini justru menciptakan kekacauan dan permusuhan. Alih-alih membawa kedamaian, ia menjadi sumber konflik.
Misalnya, kita sering mendengar tentang konflik antaragama atau bahkan konflik internal dalam satu agama. Ironisnya, konflik ini sering kali lahir dari hal-hal yang sebenarnya sangat subjektif, seperti tafsir kitab suci atau perbedaan praktik ritual. Ketika keyakinan subjektif seseorang digunakan sebagai senjata untuk merendahkan atau melukai orang lain, maka keyakinan itu kehilangan esensinya sebagai jalan menuju kebaikan.
Â
Saya sering merenungkan bagaimana agama dan keyakinan memainkan peran dalam hidup. Saya percaya bahwa setiap orang berhak atas keyakinannya sendiri, selama keyakinan itu membawa manfaat, baik bagi dirinya maupun bagi orang lain. Dalam pengalaman saya, keyakinan yang paling bermakna adalah yang memupuk kasih, kedamaian, dan rasa saling menghormati.
Ada satu momen yang sangat berkesan bagi saya. Ketika berada di sebuah komunitas lintas agama, saya melihat bagaimana orang-orang dari latar belakang yang sangat berbeda bisa duduk bersama, berbagi cerita, dan bekerja sama untuk membantu mereka yang membutuhkan. Tidak ada yang merasa superior. Tidak ada yang memaksakan keyakinan. Mereka hanya berfokus pada satu hal: menciptakan kebaikan. Momen itu mengajarkan saya bahwa esensi agama bukan terletak pada label atau doktrin, melainkan pada bagaimana ia diterjemahkan dalam tindakan.
Lalu, bagaimana kita menyikapi subjektivitas dalam agama? Saya percaya bahwa jalan tengah adalah kuncinya. Kita perlu menghormati keyakinan orang lain, sekaligus menjaga agar keyakinan kita sendiri tidak merugikan orang lain. Ini bukan berarti kita harus mengabaikan nilai-nilai yang kita pegang. Sebaliknya, ini berarti kita berusaha untuk lebih bijaksana, lebih terbuka, dan lebih fokus pada esensi agama: cinta, kedamaian, dan harmoni.
Subjektivitas dalam agama bukanlah kelemahan. Ia adalah kekayaan. Ia memungkinkan kita untuk mengeksplorasi makna terdalam dari kehidupan dan menemukan cara-cara unik untuk terhubung satu dan lainnya. Tetapi, subjektivitas ini harus selalu diarahkan pada kebaikan. Ketika keyakinan kita membantu kita menjadi lebih baik, lebih damai, dan lebih memberdayakan, maka ia benar-benar bermanfaat. Sebaliknya, ketika keyakinan kita justru membuat kita merugikan orang lain, maka kita perlu berhenti sejenak dan bertanya: apakah agama ini benar?
Pada akhirnya, agama adalah perjalanan. Ia bukan soal mencapai tujuan, tetapi soal bagaimana kita berjalan. Selama perjalanan itu membuat kita dan orang-orang di sekitar kita lebih baik, maka kita sudah berada di jalur yang benar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H