Awal mula ada kalkulator, banyak orang ketar-ketir. Mereka menganggap kalkulator akan membuat otak manusia tumpul, tak lagi mampu menghitung angka-angka sederhana. Beberapa malah bersikukuh tetap memakai sempoa atau hitungan manual di atas kertas. Namun, di era sekarang, siapa yang tak mengandalkan kalkulator? Alat kecil itu bukan hanya diterima, tapi menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari, mulai dari menghitung belanjaan hingga menyelesaikan rumus-rumus kompleks.
Begitu pula ketika komputer pertama kali hadir. Banyak yang merasa keberadaannya mengancam pekerjaan manual. Beberapa orang enggan belajar, bahkan memandang sinis mereka yang memilih beralih menggunakan komputer. Namun lihatlah sekarang---komputer bukan lagi barang mewah, melainkan kebutuhan pokok di hampir semua lini pekerjaan. Yang dulu dianggap ancaman, kini jadi solusi.
Sekarang, kita berada di titik yang serupa dengan kemunculan kalkulator dan komputer: era Artificial Intelligence (AI). AI, khususnya dalam bidang penulisan, mulai mendobrak cara lama. Sama seperti kalkulator dan komputer, AI memicu kekhawatiran dan resistensi. Beberapa orang menolak mentah-mentah penggunaannya, merasa ini hanya akan membuat kreativitas memudar atau menjadikan tulisan kehilangan "jiwa manusia." Itu adalah hak setiap individu untuk memilih jalan mereka, dan tidak ada yang salah dengan itu. Namun, mari kita melihat fenomena ini dari sudut pandang yang lebih luas.
Sebagai seseorang yang sering menulis, saya memahami perasaan gelisah ketika teknologi baru datang dan seolah menawarkan jalan pintas. Kita merasa identitas kita sebagai penulis dipertaruhkan. Namun, mari kita jujur: adakah teknologi yang benar-benar menggantikan manusia sepenuhnya? Kalkulator tetap memerlukan input angka dari kita. Komputer memerlukan pengguna untuk memberikan perintah. Begitu juga AI.
Sebuah artikel menarik dari Harvard Business Review menyatakan: "AI Won't Replace Humans --- But Humans With AI Will Replace Humans Without AI." Pernyataan ini tepat sekali. AI bukan pengganti manusia. Tapi, manusia yang memanfaatkan AI akan berada beberapa langkah di depan dibanding mereka yang mengabaikannya.
Dalam konteks penulisan, AI bisa menjadi alat yang sangat bermanfaat. Ia bisa membantu menghasilkan draft kasar, memeriksa tata bahasa, atau memberikan ide-ide segar ketika otak sedang buntu. Namun, tulisan tetap memerlukan sentuhan manusia untuk menyempurnakan, memberikan rasa, dan membangun koneksi emosional dengan pembaca. AI adalah alat, bukan pengganti. Sama seperti pena, keyboard, atau bahkan kopi di pagi hari---alat bantu yang mendukung proses kreatif.
Menggunakan AI Sama dengan Tidak Mau Berpikir?
Ada stigma bahwa menggunakan AI berarti menyerah pada kemudahan, malas berpikir, dan kehilangan kreativitas. Pernah dengar cerita tentang mereka yang dulu memandang rendah pengguna kalkulator? Mereka dianggap "bodoh" karena tidak mau menghitung manual. Lucunya, saat ini justru orang yang menolak kalkulator yang sering terlihat tidak praktis dan lamban.
Begitu pula dengan komputer. Mereka yang dulu menolak belajar mengetik atau menggunakan spreadsheet kini tertinggal oleh generasi baru yang lebih adaptif. Hal serupa sedang terjadi dengan AI. Menggunakan AI bukan berarti malas berpikir, tapi justru efisien dalam memanfaatkan waktu dan energi untuk fokus pada aspek kreatif yang lebih tinggi.
Saya sendiri pernah skeptis. Awalnya, saya berpikir: "Ah, masa tulisan bisa terasa nyata kalau dibuat oleh mesin?" Tapi ketika mencoba AI untuk membantu menyusun kerangka tulisan atau mencari sudut pandang baru, saya mulai menyadari bahwa ini bukan tentang menggantikan peran saya sebagai penulis. Ini tentang membuat proses lebih lancar, memberikan ruang untuk ide-ide yang lebih besar.
Tapi AI Tidak Bisa Menulis dengan Jiwa Manusia!
Benar, AI tidak bisa memberikan jiwa pada tulisan. Namun, mari kita pikirkan ini: jika seorang penulis memanfaatkan AI untuk membantu riset, membuat draft, atau menyempurnakan gaya bahasa, apakah itu berarti ia kehilangan "jiwa" karyanya? Tentu tidak. Justru, dengan bantuan AI, seorang penulis bisa lebih fokus pada esensi cerita, memperhalus metafora, atau memperkaya dialog.
Analoginya sederhana: koki terbaik tidak perlu memotong bawang dengan pisau tumpul untuk membuktikan keahliannya. Mereka menggunakan peralatan terbaik yang tersedia agar bisa menciptakan masakan yang luar biasa. Demikian pula penulis yang menggunakan AI---mereka hanya memanfaatkan alat terbaik untuk mencapai hasil yang lebih baik.
Menolak AI adalah hakmu. Tidak ada yang memaksa. Tapi, penting untuk diingat bahwa sejarah selalu berpihak pada mereka yang bersedia beradaptasi. Kalkulator tidak menggantikan otak manusia, tapi membantu otak manusia bekerja lebih cepat. Komputer tidak menggantikan manusia, tapi membantu manusia lebih produktif. Begitu juga AI.
Jika kamu merasa tulisanmu akan kehilangan orisinalitas dengan AI, gunakan alat ini hanya untuk aspek teknis, seperti menyusun ide atau memeriksa ejaan. Biarkan hati dan pikiranmu yang tetap memimpin. Dengan begitu, kamu tidak hanya akan memanfaatkan teknologi, tapi juga menjaga integritas karyamu.
Kalkulator dan komputer pernah dianggap ancaman, namun sekarang menjadi keniscayaan. AI pun akan berjalan di jalur yang sama. Sebagai penulis, kita tidak perlu takut kehilangan "jiwa" tulisan. Yang perlu kita lakukan hanyalah memastikan bahwa kita tetap menjadi pengendali, bukan sekadar pengguna pasif.
Jadi, kamu menolak AI? Tidak apa-apa. Tapi, pastikan keputusanmu benar-benar berdasarkan pemahaman, bukan sekadar rasa takut terhadap sesuatu yang baru. Karena seperti yang sudah-sudah, mereka yang berani mencoba hal baru biasanya adalah mereka yang bertahan lebih lama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H