Analoginya sederhana: koki terbaik tidak perlu memotong bawang dengan pisau tumpul untuk membuktikan keahliannya. Mereka menggunakan peralatan terbaik yang tersedia agar bisa menciptakan masakan yang luar biasa. Demikian pula penulis yang menggunakan AI---mereka hanya memanfaatkan alat terbaik untuk mencapai hasil yang lebih baik.
Menolak AI adalah hakmu. Tidak ada yang memaksa. Tapi, penting untuk diingat bahwa sejarah selalu berpihak pada mereka yang bersedia beradaptasi. Kalkulator tidak menggantikan otak manusia, tapi membantu otak manusia bekerja lebih cepat. Komputer tidak menggantikan manusia, tapi membantu manusia lebih produktif. Begitu juga AI.
Jika kamu merasa tulisanmu akan kehilangan orisinalitas dengan AI, gunakan alat ini hanya untuk aspek teknis, seperti menyusun ide atau memeriksa ejaan. Biarkan hati dan pikiranmu yang tetap memimpin. Dengan begitu, kamu tidak hanya akan memanfaatkan teknologi, tapi juga menjaga integritas karyamu.
Kalkulator dan komputer pernah dianggap ancaman, namun sekarang menjadi keniscayaan. AI pun akan berjalan di jalur yang sama. Sebagai penulis, kita tidak perlu takut kehilangan "jiwa" tulisan. Yang perlu kita lakukan hanyalah memastikan bahwa kita tetap menjadi pengendali, bukan sekadar pengguna pasif.
Jadi, kamu menolak AI? Tidak apa-apa. Tapi, pastikan keputusanmu benar-benar berdasarkan pemahaman, bukan sekadar rasa takut terhadap sesuatu yang baru. Karena seperti yang sudah-sudah, mereka yang berani mencoba hal baru biasanya adalah mereka yang bertahan lebih lama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H