Sambil menikmati secangkir teh hangat yang baru disajikan, percakapan antara Jena dan Iosif terus mengalir, memasuki topik yang lebih dalam dan pribadi. Cahaya pagi yang sejuk dari jendela restoran hotel menambah nuansa introspektif pada dialog mereka.
Iosif, dengan rasa ingin tahu yang tak kunjung padam, mengarahkan percakapan ke sebuah pertanyaan yang telah menggantung di benaknya sejak awal. "Jena, bolehkah saya tanya, mengapa Anda memilih menggunakan nama 'Ibrahim' sebagai nama samaran Anda?" tanyanya, matanya mencari-cari ekspresi wajah Jena.
Jena menarik nafas, mempersiapkan diri untuk menjawab. "Ibrahim, seperti yang kita tahu, dianggap sebagai bapak dari banyak bangsa besar dalam berbagai tradisi agama," mulai Jena, suaranya tenang dan terukur. "Saya memilih nama itu karena saya percaya nama tersebut akan menarik lebih banyak perhatian. Jika saya menulis dengan nama asli saya, seorang wanita Rusia yang tidak beragama, banyak yang mungkin akan langsung menolak bacaan itu tanpa mempertimbangkan isi tulisannya."
Iosif, yang merupakan penganut Ortodoks, menunjukkan rasa paham. Namun, sebagai seorang yang terbuka terhadap diskusi, ia ingin lebih mengerti pandangan Jena. "Dan bagaimana Anda melihat Ibrahim dari sudut pandang realistis dan logis? Saya tertarik mengetahui lebih banyak tentang pendekatan Anda."
Jena menyesap tehnya sebelum menjawab. "Dari sudut pandang realistis, saya melihat sosok seperti Ibrahim sebagai figur otoriter yang diciptakan oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhan tertentu. Dalam banyak masyarakat, sosok yang menyatukan---seorang bapak atau pemimpin yang bijaksana---merupakan bagian penting dalam membangun identitas dan kebersamaan," jelas Jena dengan hati-hati, memilih kata-katanya.
"Bagi saya, Ibrahim bisa dilihat sebagai tokoh imajiner, bukan sejarah. Ini bukan tentang menolak nilai-nilai atau ajaran yang terkait dengan dia, tetapi tentang memahami mengapa dan bagaimana cerita-cerita tersebut dibuat dan diterima luas. Fungsinya, dari sudut pandang saya, adalah untuk memberikan model perilaku, untuk menginspirasi dan menyatukan orang-orang melalui nilai-nilai tertentu."
Iosif mendengarkan dengan penuh perhatian, menghargai kejujuran dan kedalaman analisis Jena. "Itu pandangan yang sangat menarik," ujarnya, mengakui bahwa meskipun berbeda, pandangan Jena menawarkan perspektif yang unik dan berharga.
"Saya berusaha untuk membongkar mitos dan menawarkan cara pandang yang berbasis pada logika dan bukti empiris. Saya percaya ini penting, terutama di era di mana informasi begitu cepat beredar dan mudahnya mitos serta disinformasi menyebar," tambah Jena, semakin bersemangat.
Jena memutuskan untuk menjelaskan lebih jauh dengan menyertakan perspektif filsafat. Iosif, yang terus tertarik dengan cara pandang Jena, menyimak dengan saksama.
"Dalam filsafat," Jena memulai, "sosok seperti Ibrahim sering dijadikan simbol dari otoritas moral dan kepatuhan. Ini mirip dengan konsep Plato tentang 'Philosopher King', di mana pemimpin ideal adalah orang yang tidak hanya memerintah tetapi juga memimpin dengan kebijaksanaan dan keadilan."
Jena melanjutkan, "Plato berargumen bahwa pemimpin sejati harus memiliki pengetahuan, kebajikan, dan kearifan. Dalam banyak cerita, Ibrahim digambarkan sebagai pemimpin yang memenuhi kriteria ini---seorang pemimpin yang membimbing bukan melalui kekuasaan semata, tetapi melalui contoh moral dan spiritual."
Menyesap tehnya, Jena menambahkan, "Namun, dari sudut pandang kritis, kita juga bisa melihat sosok Ibrahim sebagai manifestasi dari apa yang Nietzsche sebut sebagai 'kehendak untuk berkuasa'. Nietzsche berpendapat bahwa cerita-cerita agama dan mitos sering kali mencerminkan keinginan bawah sadar manusia untuk mengontrol atau mempengaruhi orang lain. Ibrahim, dalam konteks ini, bisa dilihat sebagai alat untuk memperkuat struktur sosial dan kekuasaan tertentu."
Iosif, yang akrab dengan referensi filsafat tersebut, mengangguk-angguk. "Itu pendekatan yang sangat menarik," katanya, mengakui bahwa meski sebagai penganut Ortodoks, ia dapat menghargai analisis yang mendalam dan terkadang kritis terhadap figur-figur seperti Ibrahim.
"Jadi, dalam tulisan saya," Jena menjelaskan lebih lanjut, "saya mencoba untuk mengeksplorasi dan mempertanyakan tidak hanya nilai-nilai yang diwakili oleh sosok-sosok seperti Ibrahim tetapi juga implikasi yang mereka miliki untuk kita hari ini. Apakah kita mengikuti karena kita yakin mereka meneruskan nilai-nilai kebaikan, atau karena kita telah diajarkan untuk tidak mempertanyakan otoritas yang sudah ada?"
Mengakhiri penjelasannya, Jena menyimpulkan, "Melalui tulisan saya, saya berharap untuk mendorong orang untuk berpikir lebih kritis tentang cerita-cerita yang kita anggap sebagai kebenaran mutlak dan untuk mengakui bahwa bahkan narasi yang paling kuno dan paling sakral pun dapat dan harus ditinjau ulang dalam perspektif baru."Â
*dikutip dari Novel 'LOOP'
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H