Jena melanjutkan, "Plato berargumen bahwa pemimpin sejati harus memiliki pengetahuan, kebajikan, dan kearifan. Dalam banyak cerita, Ibrahim digambarkan sebagai pemimpin yang memenuhi kriteria ini---seorang pemimpin yang membimbing bukan melalui kekuasaan semata, tetapi melalui contoh moral dan spiritual."
Menyesap tehnya, Jena menambahkan, "Namun, dari sudut pandang kritis, kita juga bisa melihat sosok Ibrahim sebagai manifestasi dari apa yang Nietzsche sebut sebagai 'kehendak untuk berkuasa'. Nietzsche berpendapat bahwa cerita-cerita agama dan mitos sering kali mencerminkan keinginan bawah sadar manusia untuk mengontrol atau mempengaruhi orang lain. Ibrahim, dalam konteks ini, bisa dilihat sebagai alat untuk memperkuat struktur sosial dan kekuasaan tertentu."
Iosif, yang akrab dengan referensi filsafat tersebut, mengangguk-angguk. "Itu pendekatan yang sangat menarik," katanya, mengakui bahwa meski sebagai penganut Ortodoks, ia dapat menghargai analisis yang mendalam dan terkadang kritis terhadap figur-figur seperti Ibrahim.
"Jadi, dalam tulisan saya," Jena menjelaskan lebih lanjut, "saya mencoba untuk mengeksplorasi dan mempertanyakan tidak hanya nilai-nilai yang diwakili oleh sosok-sosok seperti Ibrahim tetapi juga implikasi yang mereka miliki untuk kita hari ini. Apakah kita mengikuti karena kita yakin mereka meneruskan nilai-nilai kebaikan, atau karena kita telah diajarkan untuk tidak mempertanyakan otoritas yang sudah ada?"
Mengakhiri penjelasannya, Jena menyimpulkan, "Melalui tulisan saya, saya berharap untuk mendorong orang untuk berpikir lebih kritis tentang cerita-cerita yang kita anggap sebagai kebenaran mutlak dan untuk mengakui bahwa bahkan narasi yang paling kuno dan paling sakral pun dapat dan harus ditinjau ulang dalam perspektif baru."Â
*dikutip dari Novel 'LOOP'
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H