Kesadaran Jena mulai terangkat dari bayang-bayang kekhawatiran. Rasa takut akan kematian perlahan memudar, digantikan oleh kepercayaan bahwa apa pun yang terjadi selanjutnya, itu adalah bagian dari perjalanan jiwa yang tak terhindarkan. "Mungkin aku tidak perlu mencari makna hidup dalam momen-momen yang terbatas, tetapi harus merenungkan keluasan hidup yang diberikan kepada setiap jiwa," gumamnya dalam hati, merasa damai menerima takdir apa pun yang menantinya.
Dengan dialog batin ini, Jena menemukan ketenangan di tengah badai kehidupan dan kematian, menggali lebih dalam ke dalam kesadaran bahwa hidup dan mati bukanlah dua dunia yang berbeda, tetapi dua fase yang sama dari keberadaan yang tak terpisahkan.
Dalam diam yang tiba-tiba menyelimuti ruangan, saat detak jantungnya berjuang menemukan irama yang stabil, ada sebuah kesadaran yang timbul. Jika ini adalah akhir, maka biarlah menjadi akhir yang penuh kesadaran. Jika ini adalah awal baru, maka biarlah menjadi awal yang dipenuhi dengan keberanian untuk menghadapi takdirnya.
Babak baru akan segera dimulai, namun bagi Jena, ini adalah akhir---atau setidaknya, begitu terasa bagi mereka yang menyaksikannya. Namun bagi Jena, ini hanyalah transisi lain, meski ia sendiri belum menyadarinya. Suara-suara mesin yang semakin keras, desakan tim medis, dan doa-doa yang diucapkan dalam bisikan hampir terlupakan saat ruangan itu terisi dengan cahaya yang tiba-tiba, dan untuk sesaat, semuanya menjadi tenang.
Jena menghembuskan nafas terakhirnya ...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H