Suara itu, meski lembut, membawa berat seribu ombak, memaksa Jena untuk berhenti dan merenung. Dalam ketenangan eksistensial ini, dia merenungkan pertanyaan tersebut, menggali dalam-dalam ke dalam esensi dirinya yang paling murni. "Aku mencari makna, kebahagiaan, cinta... mungkin semua ini sekaligus," jawab Jena dalam hati, suaranya terdengar asing bahkan bagi telinganya sendiri.
"Tapi apakah kamu telah hidup dengan sepenuhnya? Apakah kamu telah mencintai dengan segenap hatimu?" tanya sosok itu lagi, kali ini dengan nada yang menggugah kesadaran yang lebih dalam.
Sebagai jawaban, Jena hanya bisa menghela napas, sebuah pengakuan bahwa, meski telah berusaha, mungkin masih ada jalan yang belum dia tempuh, kata-kata yang belum dia ucapkan, dan cinta yang belum sepenuhnya dia berikan.
Di saat refleksi ini, Jena merasa dirinya ditarik kembali, perlahan, ke realitas fisik yang dia tinggalkan. Suara bip monitor menjadi lebih jelas, suara dokter dan perawat mulai mengisi kesadarannya lagi.
Dokter dan perawat sibuk bergerak, menyesuaikan alat, memeriksa bacaan, dan bertukar informasi dengan bahasa kode yang hanya mereka yang paham. "Kita perlu stabilkan ritme jantungnya, bawa defibrilator ke sini," terdengar suara dokter senior memberi komando, ketika salah satu monitor memancarkan sinyal peringatan.
Di sudut ruangan, keluarga dan beberapa teman dekat Jena berkumpul, wajah mereka pucat dan mata mereka sayu, tetapi dihiasi harapan yang tak kunjung padam. Ibunya, dengan tangan yang gemetar, menggenggam rosario, bibirnya bergerak-gerak membisikkan doa yang terdengar hampir tidak mungkin. "Tuhan, lindungi anakku," gumamnya berkali-kali.
Anak laki-lakinya, Ardi, berdiri di sampingnya, menggenggam erat tangan ayahnya. Sesekali ia menatap layar monitor, mencoba memahami arti dari angka-angka yang berkedip itu, seolah-olah dengan mengerti, ia bisa membantu mengubah keadaan. "Mama kuat, Pa. Mama pasti bisa melewati ini," ujarnya, mencoba meyakinkan dirinya sendiri sekaligus ayahnya.
Sementara itu, suami Jena, Damar, berdiri tak jauh dari tempat tidur, wajahnya tersiksa oleh kecemasan yang mendalam. Setiap bip dari monitor seolah adalah dentuman gendang yang bergema di dadanya, meningkatkan denyut jantungnya yang sudah cepat. Tangannya yang berkeringat menggenggam tangan Jena, berharap sentuhan itu bisa mentransfer kekuatan ke tubuhnya yang lemah.
"Tolong bertahan, sayang," bisiknya dengan suara yang hampir patah, matanya tak pernah lepas dari wajah Jena. "Kita masih punya banyak rencana, banyak mimpi. Kamu tidak boleh pergi sekarang. Aku tidak tahu harus bagaimana tanpamu."
Teman baik Jena, Maya, yang duduk di pojok, menutupi wajahnya dengan kedua tangan, berbisik, "Kamu harus bangun, Jena. Kamu janji akan ada di pameran seniku minggu depan."
Dalam kesunyian yang hanya Jena alami, dia terperosok dalam kekosongan yang tidak memiliki gravitasi, waktu, atau batas. Di kejauhan, sebuah cahaya lembut muncul, memanggilnya untuk mendekat. Suara-suara dari kehidupannya yang lalu bergema di telinganya---tawa, tangis, kata-kata kasar, deklarasi cinta---semuanya berputar di sekelilingnya seperti serpihan daun yang ditiup angin.