PROLOG
Kecelakaan Misterius
Di tengah kesunyian malam yang pekat, hanya suara hujan deras yang menggema, berdenting keras melawan atap dan aspal jalan, memecah kesunyian yang nyaris sempurna. Jalanan basah memantulkan cahaya lampu jalanan yang samar, menciptakan ilusi kilat perak yang berkelip dalam genangan-genangan air. Angin berhembus kencang, membawa dingin yang menusuk tulang. Di tengah pemandangan yang suram ini, sebuah mobil terlihat melaju dengan kecepatan tinggi, wiper kacanya berjuang keras melawan guyuran air yang tak henti.
Dalam mobil tersebut, Jena Atha Lestari menggenggam setir dengan kedua tangannya yang gemetar. Napasnya cepat dan dangkal, matanya melebar penuh ketakutan namun ditentukan, memantapkan diri melawan badai yang mengamuk. Hari ini adalah hari ulang tahunnya, sebuah hari yang seharusnya penuh perayaan, namun nasib memilih jalan yang berbeda. Mobilnya menyusuri lekukan jalan yang licin, lampu depannya menyinari jalanan yang sepi namun tidak mampu menerangi bayang-bayang yang bergerak cepat di tepi pandangannya.
Sebelum malam itu, Jena menghabiskan hari ulang tahunnya dengan cara yang cukup sederhana dan menyenangkan. Pagi itu diawali dengan secangkir kopi dan sarapan lezat yang disiapkan suaminya sebelum ia berangkat, sebuah ritual kecil yang selalu dia nikmati. Dia menghabiskan beberapa jam di galeri seni lokal, menyerap inspirasi dari karya-karya baru dan mengobrol santai dengan beberapa teman seniman.
Namun, saat pulang, pikirannya melayang ke percakapan yang belum terselesaikan dengan adiknya, kepelukan yang belum diberikan kepada ibunya, dan terutama, keinginan yang belum terucapkan kepada seseorang yang spesial dalam hidupnya, yaitu suaminya. Flashback dari momen-momen ini berkelebat di benaknya.
Flashback kehidupan Jena mulai berkelebat di benaknya saat ia mengemudi melalui hujan yang semakin deras. Dia teringat saat pertama kali bertemu dengan suaminya, Damar, di sebuah kafe kecil di sudut kota, di mana percakapan ringan tentang buku dan musik berubah menjadi jam-jam diskusi yang tak terlupakan. Senyuman Damar saat itu, yang penuh kehangatan dan kecerdasan, seketika membuka sebuah babak baru dalam hidupnya.
Kemudian, kenangan tentang perjalanan mereka ke Bali, di mana mereka menyaksikan matahari terbenam di pantai Uluwatu, tangan mereka tergenggam erat, janji-janji yang dibisikkan bersamaan dengan desir ombak. Itu adalah saat-saat ketika Jena merasa paling hidup, paling terhubung dengan alam dan dengan orang yang dicintainya.
Namun, tidak semua kenangan yang berkelebat adalah indah. Jena juga teringat perdebatan yang terjadi beberapa bulan yang lalu, saat Damar dan dia tidak setuju tentang keputusan penting dalam hidup mereka. Kata-kata keras yang terucap, mata yang berkaca-kaca, dan pintu yang terbanting masih terasa nyata. Itu adalah momen yang belum terselesaikan, kata-kata maaf yang belum sempat diucapkan, dan rekonsiliasi yang tertunda.
"Haruskah aku mengatakan lebih banyak? Haruskah aku mencoba lebih keras?" tanyanya dalam hati, merasa berat dengan beban penyesalan.
Ketakutan terbesar, kematian yang sia-sia, merayapi pikirannya, seperti bayang-bayang yang menari di tepi visinya.
"Aku tidak takut mati, tapi aku takut meninggal tanpa meninggalkan jejak, tanpa membuktikan bahwa aku pernah hidup dengan sepenuhnya."