Beberapa hari ini, berita tentang menu card di Garuda Indonesia yang berupa tulisan tangan yang diunggah oleh akun Instagram rius.vernandes menjadi viral.Â
Kejadian itu terjadi pada tanggal 13 Juni, di kelas bisnis penerbangan dari Sydney ke Denpasar. Di akun yang bersangkutan, para nitizen kemudian berkomentar tentang Garuda, dari mulai kecewa sampai mengkaitkannya dengan pelayanan yang mereka nilai telah menurun.Â
Kalau melihat unggahan akun Instagram tersebut yang hanya berupa foto menu tulisan tangan, maka jelas yang melihat posting itu akan mencibir Garuda, "Masak maskapai bintang lima, menunya tulisan tangan?"
Saya pun demikian. Saat seorang teman memberi kabar kejadian tersebut dan saya melihat foto menu tulisan tangan itu, saat itu secara spontan saya bilang, "Masak cara mengatasi ketiadaan menu karena masih dalam proses cetak harus dengan cara tulis tangan? Inikah service recovery dari maskapai bintang lima?"
Sehari kemudian, Garuda Indonesia melakukan klarifikasi melalui sosial media akan kejadian tersebut yang diunggah di sini.
Dalam klarifikasi tersebut ditulis: "Dapat kami sampaikan bahwa ini bukan kartu menu untuk penumpang, melainkan catatan pribadi awak kabin yang tidak untuk disebarluaskan. Terima kasih.," - "Foto yang tersebar di media sosial adalah catatan pribadi salah satu awak kabin kami yang tidak untuk disebarluaskan lebih lanjut. Catatan tersebut juga bukanlah menu card yang dibagikan kepada penumpang oleh awak kabin kami," kata VP Corporate Secretary Garuda Indonesia M. Ikhsan Rosan.
Apa Yang Terjadi Sebenarnya?
Ada dua pertanyaan untuk memulai mengulas ini, yaitu: Apakah Rius salah dengan mengunggah foto menu yang diterimanya? Dan Apakah Garuda Indonesia benar dengan membiarkan menu card yang tidak tersedia karena alasan masih proses cetak?
Apakah Rius salah dengan mengunggah foto menu yang diterimanya?
Pertama, banyak yang mengapresiasi Rius dan menyalahkan Garuda. Lalu ada juga yang bilang bahwa Rius "Menjatuhkan garuda demi maskapai asing" karena ditulis bahwa dirinya adalah podcast talent dari Singapore Airlines.Â
Salah satu akun facebook bahkan menulis bahwa Rius secara masif menjelek-jelekkan Garuda dan memprovokasi masyarakat dengan cara mencari-cari kekurangan Garuda.
Saya sendiri tidak begitu percaya kepada yang menyalahkan Garuda dan kepada yang bilang bahwa ada provokasi menjelek-jelekkan Garuda. Keduanya mungkin saja tidak lengkap mengikuti posting dari Rius dan mungkin saja hanya melihat posting satu itu kemudian mengembangkan persepsi sendiri. Saya sendiri baru ini tahu akun Rius dan bukan pembela Rius.Â
Namun untuk melihat masalah secara utuh, saya harus melihat postingnya yang lain dan juga postingnya tentang klarifikasi menu itu yang diunggah di youtube pada tanggal 14 Juli.
Untuk posting Instagram itu sendiri. Foto unggahan menu tulisan tangan tersebut tidak ada kalimat yang menjelekkan Garuda. Di posting itu hanya tertulis; "Menu yang dibagiin tadi di Business Class Garuda Indonesia tadi dari Sydney -- Denpasar. "Menunya masih dalam proses cetak pak (ikon tepok jidat)"
Dalam hal ini, Rius hanya melakukan 'capture' menu dari apa yang dialaminya, seperti vlognya yang lain tentang menu makanan di pesawat. Dia hanya 'capture' apa adanya. Itulah pengalaman 'real' penumpang tanpa menjelekkan atau mencibir.Â
Bahkan di posting selanjutnya, Rius menyampaikan apresiasi kepada Pramugari yang menjelaskan bahwa menu masih dalam proses cetak. Penyampaian yang hangat dengan human touch oleh Pramugari dikatakan oleh Rius sebagai kebanggaan akan maskapai Nasional ini.Â
Di posting itu juga dikatakan bahwa mending tidak ada menu tapi pramugarinya ramah, daripada ada menu tapi pramugarinya jutek.Â
Di sini, saya tidak melihat ada tendensi untuk secara masif menjelek-jelekkan Garuda dan memprovokasi masyarakat dengan cara mencari-cari kekurangan Garuda. Secara jelas ia mengatakan bahwa ini bukan kesalahan Pramugari, bahkan mengapresiasi Pramugarinya dengan penyampaian ramah dan hangat tersebut.
Apakah Garuda Indonesia benar dengan membiarkan menu card yang tidak tersedia karena alasan masih proses cetak?
Sebagai penumpang, siapapun penumpangnya, ia tidak tidak akan tahu bahwa apa yang diterimanya dalam secarik kertas yang berisi tulisan susunan makanan itu bukan menu. Apapun yang ia terima, entah itu cetak atau tulisan tangan, tetaplah sebuah menu baginya, apabila isinya susunan makanan. Saya tidak setuju kata dari VP Corporate Secretary Garuda Indonesia, M. Ikhsan Rosan, yang mengatakan bahwa "Catatan tersebut juga bukanlah menu card yang dibagikan kepada penumpang oleh awak kabin kami."Â
Buktinya adalah, bahwa tulisan tangan itu berisi susunan makanan dan ditunjukkan (bahkan dipegang) oleh penumpang. Itulah menu bagi penumpang dan tidak salah apabila ada penumpang yang bilang bahwa itu adalah menu dengan tulisan tangan.
Ketiadaan menu memang bukan hanya kali ini terjadi. Sejak Garuda menerapkan 'new service concept' (konsep pelayanan baru) mulai tahun 2002, ketiadaan menu ini berulang terjadi.Â
Apalagi kalau pada saat pergantian menu yang mungkin setiap enam bulan sekali. Dari proses cetak menu baru, penarikan menu lama dan distribusi ke lapangan akan lebih cepat perubahan jenis makanannya terlebih dulu daripada ketersediaannya menu. Apabila ini sering terjadi, seharusnya Garuda Indonesia dapat melakukan antisipasi.Â
Para Pramugari di pesawat dengan sangat kreatif telah menyelamatkan kasus seperti itu berulang kali. Sehingga ketika kasus ketiadaan menu sering diselamatkan oleh kreatifitas Pramugari, mungkin saja pihak manajemen tidak melihat bahwa ketiadaan menu dapat menyebabkan masalah bagi penumpang.
'Customer Beyond Expectation', ini seharusnya dipahami dengan tepat oleh siapapun pelaku service, tidak terkecuali Garuda Indonesia. Penumpang, siapapun dia akan berharap lebih dari pelayanan yang ada.Â
Apalagi kelas Bisnis yang tiketnya membayar lebih mahal. Untuk itu dari sekedar urusan menu yang mungkin saja selama ini terlewatkan oleh manajemen Garuda, dengan kasus ini dapat diantisipasi dengan baik. Apapun alasannya, sebagai penyedia layanan yang menjanjikan bahwa menu merupakan salah satu bagian dari layanan, dengan tidak adanya menu adalah  hal yang tidak dapat dibenarkan.
Lalu apa yang dapat dilakukan Garuda Indonesia?
Buatlah langkah dari service recovery yang standar. Sebagai contoh, apabila menu telat distribusinya sehingga belum ada di pesawat, maka langkah apa saja sebagai standar penanganan yang dapat dilakukan oleh Purser?Â
Apabila standar penanganannya diperbolehkan menuliskan manual, maka buat hal itu sebagai penanganan standar sehingga VP Corporate Secretary Garuda Indonesia tidak perlu membuat alasan yang keluar dari  kontek masalah.Â
Cukup dijawab; "Karena memang ketersediaan menu pada penerbangan tersebut belum tersedia, maka tindakan menulis menu dengan tulisan tangan merupakan standar yang dapat kami berikan untuk memudahkan penumpang memilih jenis makanan yang tersedia."
Dari langkah-langkah service recovery yang standar tersebut, bagi Pramugari yang bertugas juga tidak akan ragu ketika melakukannya dalam pelayanan mereka.
Tidak ada yang salah dari kasus ini. Rius Vernandes hanya posting apa adanya tanpa menjelekkan dan Garuda Indonesia hanya merespon kasus yang ada. Yang dapat dilakukan setelah kasus ini adalah berbenah.Â
Apa yang kurang, apa yang perlu diperbaiki dan apa yang perlu ditingkatkan oleh Garuda Indonesia. Kita semua sebagai warga negara Indonesia tentu sangat bangga dengan maskapai nasional pembawa bendera bangsa ini. Semoga ke depan, Garuda Indonesia semakin lebih baik.
Majulah Garuda Indonesia!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H