Dua tulisan saya sebelum ini semuanya tentang industri buku. Tulisan pertama yaitu Bergesernya Industri Buku dan Penulis Buku. Tulisan kedua yaitu Writer mari bergeser menjadi Writerpreneur.
Judul ini saya tulis karena beberapa pertanyaan serupa seperti ini:
- Bagaimana agar naskah bisa tembus penerbit?
- Mengapa tidak diterbitkan penerbit mayor?
Apabila ada pertanyaan seperti di atas, saya akan menanyakan kembali:
- Mengapa harus tembus penerbit?
- Mengapa harus diterbitkan penerbit mayor?
Pada tulisan sebelum ini bila anda membacanya, saya menuliskan tentang royalti buku dan berapa rata-rata yang didapatkan oleh penulis baru. Lalu kalau ada yang tidak menjadikan royalti sebagai tujuan diterbitkan bukunya, maka alasan yang lain adalah karena gengsi. Namun apabila menulis akan anda jadikan sebagai profesi dan menulis merupakan pekerjaan professional anda, maka tentu saja gengsi bukan daftar utama dalam hidup anda. Artinya kita tidak dapat makan gengsi dan kita harus bertindak secara nyata untuk mendapatkan pendapatan yang memenuhi kebutuhan hidup selanjutnya.
Penerbit mayor (penerbit besar) bukanlah satu-satunya pintu untuk merealisasikan buku anda. Kalau anda baca dua tulisan saya sebelum ini bahkan dapat dikatakan, "mengapa harus penerbit mayor?"
Kalau dulu, ketika toko buku adalah satu-satunya etalase untuk menjual buku, maka penulis saat itu harus menembus penerbit mayor agar bukunya dapat dijual di toko buku. Karena kalau tidak dijual di toko buku, akan dijual di mana lagi? Saat itu penjualan buku hanya terjadi di toko buku. Nah, ketika sekarang semua platform industri sudah berubah total dan penjualan buku dapat terjadi di mana saja, iklan buku dapat dilakukan bahkan secara gratis di media sosial, toko online merebak di mana pun juga. Blog-blog pribadi juga berubah menjadi blog penjualan. Maka pertanyaannya adalah, "Untuk apa diterbitkan oleh penerbit mayor?"
Saya ingin mengajak anda melihat sebuah probabilitas pengunjung sebua toko buku. Anggaplah anda sebagai penulis buku dan buku anda di pajang di rak toko buku tersebut. Rak toko buku tentu saja berjejer banyak dan buku anda berdampingan dengan ratusan buku lainnya di sana. Nah, pengunjung yang masuk ke toko buku yang memilih buku di sana dan melihat ratusan judul buku, berapa persen kemungkinannya akan melihat buku anda dan kemudian membelinya?
Lalu ada yang bilang, "Kan pengunjung ke toko buku sudah tahu buku apa yang akan di beli, sudah tahu nama penulisnya."
Nah, ini adalah kesalahan penulis! Apabila calon pembeli sudah tahu buku yang akan di beli dan nama penulisnya, lalu mengapa tidak diberikan akses langsung oleh penulis untuk membeli bukunya? Apabila anda mempunyai seratus calon pembeli yang tahu anda lewat media sosial, mengapa anda lepaskan untuk membeli buku anda di toko buku? Anda tentu tahu bahwa pembelian di toko buku hanya akan memberikan anda royalti 10% dari harga jual.
Saya sama sekali tidak mengajak anda untuk menolak penerbit mayor. Silahkan kerjasama dengan penerbit mayor dengan pengetahuan yang cukup tentang buku. Artinya, apabila anda hanya gengsi saja dan berharap buku anda langsung untung karena royalti, maka anda akan kecewa. Karena sebuah buku laku bukan karena penerbitnya, bukan karena bukunya terpampang di toko buku besar. Sebuah buku akan dicari karena nama penulis itu sendiri yang sudah dikenal.
Saya tidak memungkiri ketika saya bekerjasama dengan penerbit dan buku saya terjual sebanyak 150.000 eksemplar, walaupun royalti per buku yang saya dapatkan hanyalah 6000 rupiah, maka 6000 x 150.000 = 900 juta rupiah.
Saya mengajak untuk tidak melihat nilai tersebut, karena sebagai penulis pemula tentu saja yang terpenting bagi anda adalah membangun nama kepenulisan anda. Dan membangun nama ini tidak tergantung kepada penerbit mayor. Sekali lagi bahwa era indusrti buku telah berubah. Mencetak buku semakin gampang, menjual buku semakin gampang dan media promosi juga sangat banyak.
Apabila untuk mendapatkan profit 900 juta di atas lewat penerbit mayor buku harus terjual dalam oplah 150 ribu eksemplar, maka apabila dihitung sebagai cetak mandiri, maka untuk mendapatkan profit 900 juta hanya membutuhkan oplah terjual sebanyak 20 ribu eksemplar!
Sekali lagi, era saat ini, jangan tergantung kepada penerbit mayor. Indonesia masih kekurangan penulis, masih kekurangan jumlah judul buku tercetak apabila dibandingkan dengan jumlah penduduk yang ada. Jumlah buku yang terbit per tahun di Indonesia masih kalah dengan di Vietnam dan India. sumber
Terakhir seperti apa yang pernah dikatakan oleh Pramoedya Ananta Toer, yaitu Karena kau menulis maka suaramu takkan padam ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh di kemudian hari. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.
Juga apa yang pernah dikatakan oleh Sayyid Quthb, yaitu Satu peluru hanya dapat menembus satu kepala, namun satu tulisan dapat menembus jutaan kepala.
Tetap menulis dan terbitkan buku dengan atau tanpa penerbit mayor!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H