Mohon tunggu...
Agung Webe
Agung Webe Mohon Tunggu... Konsultan - wellness coach di Highland Wellness Resort

Makan dengan makanan yang kita olah sendiri dengan bumbu organik tanpa perasa dan bahan kimia, dapat menyembuhkan hampir semua penyakit.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Writer, Mari Bergeser Menjadi Writerpreneur

13 Oktober 2018   08:00 Diperbarui: 14 Oktober 2018   11:16 1712
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menyambung tulisan saya sebelum ini yang berjudul "Bergesernya Industri Buku dan Penulis Buku" yang mengakibatkan banyaknya email yang bertanya tentang:

  • Bagaimana menerbitkan buku sendiri?
  • Bagaimana mengambil ISBN?
  • Apakah buku yang dijual baru resmi bila ada ISBN?

Tentang ISBN, tidak ada kaitannya dengan penjualan resmi atau tidak. Buku adalah produk dan begitu Anda selesai membuat produk Anda, maka saat itu juga dapat menjualnya. ISBN merupakan nomer yang menyatakan bahwa judul buku Anda didaftarkan di katalog perpustakaan nasional Indonesia. 

Jadi ISBN kaitannya hanya dengan daftar katalog sehingga bila nama dan judul buku Anda di cari di perpustakaan nasional maka akan muncul di mesin pencarian di sana. ISBN tidak ada kaitannya dengan resmi atau tidaknya sebuah buku untuk dijual.

Bahkan apabilaAnda menjual buku di AMAZON, ada keterangan jelas bahwa AMAZON tidak membutuhkan ISBN. Mereka akan mengeluarkan nomer identifikasi sendiri yang dinamakan ASIN (Amazon Standard Identification Number). Nah, jadi jelas, sebuah buku dapat dijual dengan atau tanpa ISBN.

Lalu mengapa sudah saatnya writer bergeser menjadi writerpreneur?

Tentu kita semua masih ingat kasus dari penulis Tere Liye yang menggugat royalty penulis yang besarnya  hanya 10% dari harga jugal buku dan masih dikenakan potong pajak sebenar 15%! Dikatakan bahwa penghargaan terhadap penulis masih rendah. Lalu apakah royalty penulis dapat dinaikkan?

Mari kita lihat dari sisi penerbit buku. Dari 100% harga yang terpampang, maka 50% untuk biaya distribusi (toko buku), cetak buku 15%, produksi pra cetak 15%, royalti penulis 10% dan keuntungan penerbit 10%. Jadi Anda sebagai penulis setidaknya jelas, dari harga tersebut, pendapatan Anda dari royalti dan pendapatan penerbit itu sama, yaitu 10%! Nah, seperti artikel saya sebelum ini, apabila toko buku offline hilang dan digantikan online maka margin royalti dapat naik.

Kasus Tere di atas terjadi apabila seorang Tere hanya menjadi penulis saja (writer) yang tergantung kepada penerbit atau industri buku konvensional. Seharusnya, seperti Tere, ia sudah harus dapat menciptakan industrinya sendiri dan menjadi writerpreneur.

Dari mana seorang "penulis" memulai menggeser dirinya menjadi "pengusaha penulis"?

Pertama, menyadari bahwa arus industri telah berubah. Segala kemudahan dari media untuk menulis, media untuk cetak dan distribusi sudah sangat mudah sekali.

Kedua, belajar tentang woocommerce dan mulai menggunakannya baik yang gratis maupun yang berbayar.

Ketiga, mulai mencoba theme toko online yang dikembangkan secara serius. 

Saya punya seorang teman, penulis yang sudah menerbitkan empat buku di penerbit mayor. Saat itu dia mengeluh, "Royalti saya bulan ini tidak cukup untuk membelikan raket badminton anak."

Melihat dari kasus tersebut, coba kita hitung secara sederhana (bukan buku best seller) yang dialami oleh penulis pada umumnya yang rata-rata penjualan bukunya sekitar 50 eksemplar buku dalam sebulan. 

Royalti akan dibayarkan setiap enam bulan, jadi penjualan dalam enam bulan adalah 300 eksemplar. Harga bukunya di toko buku adalah 80.000, maka royallti yang diterima setiap buku adalah 8000 rupiah. 

Pada bulan keenam dengan 300 eksemplar penjualan ia akan menerima 2.400.000 (dua juta empat ratus ribu rupiah). Pajak yang dipotongkan adalah 15%, yaitu sebesar 360.000.

Bayangkan, apabila dalam penantian selama enam bulan ia menerima Rp 2.040.000 (setelah potong pajak), maka hal itu sama saja setiap bulan ia hanya menerima penghasilan 340.000 (tiga ratus empat puluh ribu rupiah)!

Jadi pilihan memang di tangan penulis itu sendiri. Apabila ia masih berpijak pada jual beli naskah konvensional, maka ia hanya memasarkan produk kepenulisannya saja dan industri menjadi sepenuhnya milik toko buku dan penerbit buku. Namun apabila penulis mulai menjadikan kepenulisannya sebagai platform, makai a sedang menggerakkan industrinya sendiri.

Bagaimana, apakah Anda sebagai penulis ingin tetap duduk sebagai writer atau ingin mencoba bergeser menjadi writerpreneur?

Salam menulis!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun