Ketiga, mulai mencoba theme toko online yang dikembangkan secara serius.Â
Saya punya seorang teman, penulis yang sudah menerbitkan empat buku di penerbit mayor. Saat itu dia mengeluh, "Royalti saya bulan ini tidak cukup untuk membelikan raket badminton anak."
Melihat dari kasus tersebut, coba kita hitung secara sederhana (bukan buku best seller) yang dialami oleh penulis pada umumnya yang rata-rata penjualan bukunya sekitar 50 eksemplar buku dalam sebulan.Â
Royalti akan dibayarkan setiap enam bulan, jadi penjualan dalam enam bulan adalah 300 eksemplar. Harga bukunya di toko buku adalah 80.000, maka royallti yang diterima setiap buku adalah 8000 rupiah.Â
Pada bulan keenam dengan 300 eksemplar penjualan ia akan menerima 2.400.000 (dua juta empat ratus ribu rupiah). Pajak yang dipotongkan adalah 15%, yaitu sebesar 360.000.
Bayangkan, apabila dalam penantian selama enam bulan ia menerima Rp 2.040.000 (setelah potong pajak), maka hal itu sama saja setiap bulan ia hanya menerima penghasilan 340.000 (tiga ratus empat puluh ribu rupiah)!
Jadi pilihan memang di tangan penulis itu sendiri. Apabila ia masih berpijak pada jual beli naskah konvensional, maka ia hanya memasarkan produk kepenulisannya saja dan industri menjadi sepenuhnya milik toko buku dan penerbit buku. Namun apabila penulis mulai menjadikan kepenulisannya sebagai platform, makai a sedang menggerakkan industrinya sendiri.
Bagaimana, apakah Anda sebagai penulis ingin tetap duduk sebagai writer atau ingin mencoba bergeser menjadi writerpreneur?
Salam menulis!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H