Mbah Sabri adalah penjual kue serabi tradisional di perempatan Gondomanan, Yogyakarta. Beliau berjualan dari pagi hingga menjelang siang. Serabinya memang masih tradisional, yaitu hanya berbumbu santan dan dimasak dengan anglo yang ia kipasi sendiri.
Dari semenjak saya di Yogya, karena orang tua berlangganan serabi mbah Sabri (dulu belum 'mbah') maka sesekali saya masih kangen dengan serabi bikinan mbah Sabri.
Namun beberapa kali saya pulang ke Yogya dan melintas di Gondomanan, mbah Sabri sudah tidak terlihat lagi. Tempat ia jualan yaitu sebelum Yogya Electronik kalau dari arah utara terlihat kosong dan digantikan dengan penjual jam bekas.
Kemanakah mbah Sabri? Entahlah ...
Kenangan akan mbah Sabri mengingatkan saya akan sebuah penjualan versi tradisional yang tetap mempunyai pelangan setia. Walaupun omsetnya tidak meningkat bahkan cenderung itu-itu saja (kalau dihitung dengan versi penjualan modern tentu akan dianggap sebagai penjualan yang stagnan).
Nah, saya yakin bahwa sahabat semua punya kenangan tentang makanan atau warung tradisional yang sampai saat ini masih menyimpan kenangan dan menjadikan sahabat sebagai pelanggan setia di sana.
Apakah penjual seperti mbah Sabri kalah dengan penjualan modern yang iklan dengan content marketing yang bagus? Apakah penjual seperti mbah Sabri kalah dengan jualan online yang memanfaatkan medsos sebagai media jualan mereka?
Mungkin ya, mungkin juga tidak. Penjual tradisional seperti mbah Sabri secara tidak sengaja telah menciptakan 'memorable experience' dengan warungnya. Dan akhirnya para pembelinya menjadi 'advocate customer'.
Dalam hal ini, seperti Writing Camp - mengapa saja ajak para peserta ke Permata Hati resort di Cisarua? Karena saya akan menghadirkan suasana yang santai, sejuk, berkabut dan menunjang segala pengalaman menulis anda.Â
'Karena menulis bukan sekedar teori. Menulis adalah pengalaman yang berkata lewat pena'
Andai saja mbah Sabri bisa menulis, tentu saja ia akan menulis tentang 'serabi' - macam-macam serabi - resep serabi - cara masak serabi tradisional dan bahkan asal usul serabi. Atau malah opini beliau mengapa tetap bertahan dalam warung sederhana tersebut.
Sayang, mbah Sabri sudah tidak terlihat berjualan lagi. Sudah tidak saya lihat kalau melintas di Gondomanan Yogyakarta. Dan tentunya anak cucu mbah Sabri dan pelanggan-pelanggannya kini tidak dapat mengetahui sejarah mbah Sabri dan pemikirannya, karena mbah Sabri tidak menulis buku.
Apakah anda penggemar serabi?
Kalau anda gemar menulis, sekalipun itu tulisan posting status facebook, yuk bukukan!
www.sepatulangit.com
 Agung webe
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H