Mohon tunggu...
Agung Webe
Agung Webe Mohon Tunggu... Konsultan - wellness coach di Highland Wellness Resort

Makan dengan makanan yang kita olah sendiri dengan bumbu organik tanpa perasa dan bahan kimia, dapat menyembuhkan hampir semua penyakit.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Permintaan Maaf Saya Kepada Robert Kiyosaki

18 Januari 2016   23:00 Diperbarui: 18 Januari 2016   23:17 899
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya mengikuti buku Kiyosaki, dari yang terbit tahun 1997 yaitu Rich dad Poor dad, sampai buku terbarunya 2015 kemaren yang berjudul Why A students work for C students and B student work for government.

Buku Rich dad Poor dad menjadi buku laris di seluruh dunia dan merupakan buku keuangan pribadi No. 1 sepanjang masa. Kata Kiyosaki, buku tersebut ditulis bagi orang tua yang ingin mempersiapkan anak mereka untuk dunia yang tidak diantisipasi oleh sekolah, yaitu dunia keuangan!

Kiyosaki bicara tentang Financial freedom dan  pasive income.

Saya ingat dulu, saya punya teman yang memutuskan untuk keluar dari karyawan setelah membaca buku Rich dad Poor dad. Entah pertimbangannya seperti apa dan rencananya apa dia dengan tegas bilang bahwa dia akan pindah kuadran! Dari kuadran karyawan menjadi kuadran bisnis owner. Fantastis!

Beberapa tahun kemudian perkembangan teman saya tidak begitu bagus. Ia masih terseok-seok untuk memenuhi kebutuhan dasar diri dan keluarganya.

Kembali kepada Kiyosaki. Saya acungi jempol untuk pemikirannya sebagai ‘ayah kaya’ dan terus terang telah menginspirasi banyak orang untuk maju di bidang keuangan. Bahkan metode pembelajarannya telah diadopsi oleh para pebisnis di Indonesia untuk mengajak banyak orang memiliki finansial freedom 

Satu hal yang menarik dari pemikiran Kiyosaki dari buku barunya adalah WEN – yaitu Wealth Education Night atau Malam Pendidikan Kekayaan. Menyisihkan satu malam dalam satu minggu atau satu bulan untuk mempelajari uang secara aktif dengan menyenangkan. Dapat menjalankan permainan Monopoly atau Cashflow for  kids. Atau seperti dalam buku Rich dad ada juga permainan yang bernama Awaken Your Child’s Financial Genius.

Memang benar, sampai sekarang tujuan seseorang bersekolah di lingkungan kita masih ingin untuk meraih sebuah pekerjaan. Apalagi pekerjaan yang mengasuransikan pegawainya sampai pensiun dan nantinya mendapatkan pensiun tetap. Sebuah pekerjaan yang menjadi idola banyak para pencari kerja.

Dan kalau dilihat secara jujur, memang di sekolah tidak diajarkan bagaimana mencari uang, atau seluk beluk bagaimana uang bekerja. Sehingga tidak heran bila lulusan sekolah masih berpikir bagaimana mencari kerja, mendapatkan pekerjaan, bekerja keras, dan pensiun. Kemudian kenyataannya adalah banyak pengangguran yang mempunyai gelar sarjana!

Kiyosaki sangat cerdas sehingga ia mempunyai pemikiran agar anak-anak sejak dini diberikan pendidikan keuangan. Artinya sejak dini anak-anak ditanamkan sebuah konsep bahwa ‘uang itu penting’

Hal ini sangat berbeda dengan Ki Hajar Dewantara yang mengajarkan Budi Pekerti sejak dini, bukan uang.

Saya hanya takut, bila sejak anak-anak mereka sudah berpikir tentang keuntungan. Ya, mau tidak mau uang akan berkonotasi dengan untung rugi. Anak-anak akan mulai menilai sesuatu sejak dini tentang untung rugi, tentang jugal beli, tentang persaingan, tentang pencapaian. Kemudian apa yang dibicarakan oleh Kiyosaki terkenal dengan lingkungan kekayaan dan keberlimpahan.

Tidak heran, bila para pemburu kekayaan finansial, atau para pemburu finansial freedom, atau para pemburu pasive incomce, atau para pebisnis pemula menjadikan Kiyosaki sebagai kompas pemikiran.

Nmun ada hal-hal kecil yang mungkin luput dari perhatian banyak orang yang mengejar kebebasan keuangan mereka. Kiyosaki mengatakan, ‘Ajari anak Anda bahwa uang tidak menjadikan orang kaya.’

Artinya yang dikejar bukanlah uang, bukan mengumpulkan uang dalam jumlah banyak, bukan keuntungan dari margin jualan antara untung dan rugi. Dan ini juga menarik, ‘Tuntun anak anda bahwa pikiran mereka yang menjadikan kaya, bukan uang mereka.  Kemudian sadari bahwa untuk menjadi kaya mereka tidak memerlukan uang.’

Ini adalah sisi spiritual dari seorang Kiyosaki. Saya akan ulangi lagi apa yang mungkin terlewatkan bagi sebagian kebanyakan orang;

‘Tuntun anak anda bahwa pikiran mereka yang menjadikan kaya, bukan uang mereka.  Kemudian sadari bahwa untuk menjadi kaya mereka tidak memerlukan uang.’

Artinya, apapun profesi anda, entah itu karyawan biasa, manager, ibu rumah tangga, guru pengajar, penjual barang, direktur, dapat menjadi kaya dan bukan karena uang mereka!

Menarik bukan pemikiran tersebut? – ya, bahwa kaya tidak berhubungan dengan uang. Kaya berhubungan dengan kesadaran tentang kondisi kaya tersebut.

Dalam hal ini, maka Kiyosaki selaras dengan Ki Hajar Dewantara. Hanya bahasa mereka yang berbeda. Budi Pekerti adalah sebuah kesadaran tentang kakayaan. Ya, dalam buku Kiyosaki ditanyakan: siapa yang lebih cerdas: karyawan atau pemberi kerja? Jelas pemberi kerja, karena seorang pemberi akan lebih bermurah hati daripada penerima. Dan seorang pemberi adalah orang yang berbudi pekerti mulia karena dia mau memberikan.

Bahkan mulai dari halaman 267 dalam bukunya, Kiyosaki menekankan: Berilah maka kau akan merima. Ini adalah sebuah langkah klasik dari penerapan tentang kesadaran akan kekayaan. Bila anda sadar bahwa diri anda kaya, maka anda akan bermurah hati, berbudi pekerti mulia, dan murah dengan pemberian. Bila anda tidak mempunyai kesadaran tersebut, maka anda termasuk orang miskin yang selalu mencari, mengumpulkan dan mencari sebanyak-banyaknya uang sebagai label kekayaan anda.

Membaca kesuluruhan buku dari Kiyosaki, saya kembali teringat dengan teman saya yang memutuskan keluar dari pekerjaan. Ya jelas karena ukurannya adalah uang sebagai kebebasan finansial. Ia mengukur bahwa dengan keluar dari pekerjaannya ia akan dapat menghasilkan uang lebih banyak dari sekedar menjadi karyawan.

Padahal kalau ia mau sabar dan menghabiskan seluruh buku Kiyosaki, mungkin ia dapat melihat sisi lain tentang kata kaya tersebut, dengan poin penting  bahwa pikiran mereka yang menjadikan kaya, bukan uang mereka.  Kemudian sadari bahwa untuk menjadi kaya mereka tidak memerlukan uang.

Bila kaya tidak dihubungkan dengan uang, maka kata ‘kaya’ dapat diganti menjadi bahagia atau keberlimpahan.

Namun saya harus menyampaikan maaf saya kepada Kiyosaki. Walaupun dia tidak kenal saya, dan kata maaf saya tidak berpengaruh baginya. Saya sangat berterimakasih dengan buku tersebut karena mengingatkan kembali saya kepada Budi Pekerti yang diusung oleh Ki Hajar Dewantara. Terlebih lagi ‘the power of no’ atau hidup dalam menikmati masa kini yang diajarkan oleh Ki Ageng Suryomentaram dengan langkahnya yang bernama ‘Kramadangsa’.

 

Salam Kaya! – baca: Bahagia!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun