Jarak pandang mulai terbatas..
Tuk melihatmu.. Tak sampai ku melempar batu kerasnya hatimu..
Yang dalam diam.. Tak mampu ku tanya lagi..
Tapi tuk tetap bergulat dengan keadaan..
Menatap mengarungi hitamnya aspal kota ini..
Menembus kabut pagi kota ini..
Tuk hancurkan kemalasan diri..
Walau tetap di rumah saja..
Tetap ku kayuh sepedaku..
Dari jalan yang lurus berbatu tajamnya zaman..
Naik dan turunnya situasi yang sulit dan tak menentu...
Yang penting perjuangan mentari tetap bersinar muram berusaha menembus kabut..
Selalu tak patah ara tuk menerangi bumi.. Ini..
Ibu pertiwi yang kami cinta..
Itu cukup untuk pagi yang dinginnya menusuk tulang
Di pertajam angin yang kencang.. Ingin mengusir kabut dan embun..
Agar sang surya bersinar terang menghangatkan
Jalinan asmara antara.. Kau pemilik hidupku
Dan dia.. Yang Kau pilihkan untukku..
Di kartonyono saksi bisu.. Terselimut kabut
Ngawi, 03062020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H