BMKG menyebut sejumlah data di sekitar sesar Cimandiri itu sejak abad 19 lalu.Â
Pada tahun 1844, 1879, 1910, 1912, 1969, 1982, dan tahun 2000 terjadi gempa dengan kerusakan yang cukup parah meskipun kekuatannya hanya kisaran skala M 5 hingga 6 saja. Tentunya data tersebut hanya secuil dari ribuan data bencana di seluruh Indonesia.
Data yang mirip di atas terjadi pula di Jepang dengan skala magnitude yang lebih besar.Â
Tercatat beberapa gempa besar terjadi di negeri Sakura itu dengan skala di atas 7. Tahun 1891 terjadi gempa Mino-Owari dengan skala magnitude M 8. Kemudian gempa Kanto 1923, skala sekitar M 7,9 hingga 8,2. Berikutnya, gempa Fukui 1948 dengan skala M 7,1 dan gempa Miyagi 1978 dengan skala M 7,4.
Jepang tidak tinggal diam menghadapi insiden gempa-gempa tersebut. Pemerintah berpikir dan bersikap. Hasil pemikiran dan penyikapan kemudian melahirkan regulasi.
Penerapan regulasi bangunan tahan gempa
Japan Property Central, berikut fase-fase terbitnya peraturan yang mengharuskan bangunan supaya tahan gempa sejak tahun 1924. Regulasi pertama muncul didorong oleh insiden gempa Mino-Owari dan Kanto. Â
Mengutip dari laman- Peraturan bangunan tahan gempa mulai diperkenalkan, 1924. Menurut peraturan ini, syarat membuat bangunan di Jepang harus menggunakan kayu dengan ketebalan tertentu, beton bertulang, dan rangka peredam getaran. Peraturan ini hanya diterapkan di kota-kota saja.
- Kyu-taishin atau Kebijakan Standar Bangunan, 1950. Kebijakan ini dipicu gempa Fukui yang mendorong pemerintah untuk menerapkan kewajiban bangunan tahan gempa di seluruh wilayah tanpa kecuali.
- Amandemen peraturan penguatan fondasi beton untuk bangunan, 1971. Seluruh bangunan termasuk yang menggunakan struktur kayu harus memiliki fondasi beton bertulang.
- Shin-taishin atau Amandemen Peraturan Baru Bangunan Tahan Gempa, 1981. Peraturan yang dipicu gempa Miyagi 1978 ini mewajibkan agar bangunan hanya boleh retak sedikit dan tetap berfungsi normal saat gempa menengah skala M 5 sampai 7. Untuk gempa skala M 7 ke atas atau skala Shindo 6 ke atas --yang jarang terjadi-- bangunan boleh rusak tetapi jangan sampai ambruk.
- Revisi peraturan untuk bangunan kayu tahan gempa, 2000. Peraturan ini mewajibkan semua bangunan termasuk yang menggunakan kayu agar melakukan uji stabilitas tanah dan kecocokan struktur. Peraturan tambahan diterapkan untuk pemasangan bracing, fondasi, dan kerangka bangunan.
- Jaminan garansi 10 tahun untuk setiap bangunan baru, 2000.
- Pengetatan sertifikat dan pengawasan pembuatan bangunan, 2006. Amandeman ini terbit akibat skandal Aneha yang memalsukan data persyaratan bangunan tahan gempa. Berdasarkan amandemen ini bangunan tiga lantai atau lebih memerlukan pengawasan selama proses pembuatan. Bangunan dengan ketinggian tertentu juga harus mendapat reviu oleh pihak berwenang.
Dari kronologis tersebut kita melihat bahwa Jepang secara konsisten telah menerapkan dan melakukan sosialisasi pencegahan dampak gempa dalam waktu lama.Â
Hampir seabad pemerintah mengatur pendirian gedung tahan gempa untuk meminimalisir jatuhnya korban dan kerugian.
Setiap peristiwa bencana tidak hanya mendapatkan penanganan sesaat yang bersifat kuratif. Untuk mencegah kejadian berulang, pemerintah membuat kajian ilmiah beserta legislasinya agar penerapannya memiliki dasar hukum yang kuat.