Tidak hanya di Indonesia, sejumlah negara dengan tingkat vaksinasi yang tinggi seperti Israel dan China juga mengalami dan mengkhawatirkan mutasi baru virus corona. Varian tersebut dituding telah menewaskan nyaris 500 ribu jiwa di India dengan perkiraan jumlah sesungguhnya mencapai 6-7 kali lipat.
Pertimbangan-pertimbangan tersebut akan menjadi bahan pemikiran di seputar keputusan apakah PPKM lanjut lagi ataukah tidak.
Secara aktual bagi warga sendiri pengalaman menyaksikan penuhnya RS dan frekuensi pemakaman dengan protap corona akan semakin meyakinkan bahwa pandemi adalah nyata. Hal ini penting untuk menangkal hoax konspirasi di balik wabah global ini.
Kemudian yang tak kalah pentingnya adalah  kesadaran terhadap dampak multi dimensi yang ditimbulkan. Tak hanya bidang ekonomi tetapi juga pendidikan dan bidang-bidang lain.
Bendera putih menjadi bukti bahwa dampak corona di bidang ekonomi juga tak kalah mematikan. Ketika pemerintah memberikan kelonggaran aktivitas jual beli, tak perlu lagi ada tudingan prioritas ekonomi mengalahkan pentingnya aspek kesehatan. Keduanya saat ini sudah sangat krusial.
Jokowi, (beritajatim.com, 30/7/2021):
"Kemarin yang namanya PPKM Darurat itu kan namanya semi-lockdown. Itu masih semi saja, saya masuk ke kampung, saya masuk ke daerah, semuanya menjerit minta untuk dibuka. Saya kira Bapak, Ibu juga sama mengalami hal yang sama kan? Kalau lockdown kita bisa bayangkan dan itu belum juga bisa menjamin dengan lockdown itu permasalahan menjadi selesai."Â
Jika melihat trend perpanjangan kemarin yang menurun dari PPKM darurat menjadi PPKM level 3-4, tampaknya langkah yang sama akan diambil lagi kali ini. Pembatasan diperlukan terutama di wilayah penularan tinggi, tetapi daerah yang mulai menghijau perlu sedikit pelonggaran untuk memberi kesempatan pelaku usaha sedikit bernapas.
Untuk menjembatani antara desakan kebutuhan hidup dengan kehati-hatian demi mencegah penularan maka penegakkan prokes dan vaksinasi adalah kuncinya. Tetapi jangan pula lalu timbul masalah yang tidak perlu.
Sebagai contoh yaitu aturan makan di warteg selama 20 menit.Â
Dengan disiplin prokes ketat sebenarnya hal itu memadai karena secara tidak langsung mencegah masyarakat untuk makan di tempat (dine in). Akan tetapi aturan harus bawa kartu vaksinasi seperti yang terjadi di DKI Jakarta adalah satu bentuk kejanggalan birokrasi; mirip dengan syarat keterangan domisili dalam program vaksinasi.
Dengan keharusan bawa kartu atau sertifikat vaksinasi maka kegiatan di warteg akan bertambah dengan pemeriksaan kartu. Bagaimana pemilik warteg punya waktu memeriksa kartu vaksinasi sementara di sisi lain pengunjung dibatasi 20 menit? Hal itu menjadi permasalahan baik bagi pemilik warung maupun pengunjung yang ingin makan. Bagi warga yang tak terbiasa dengan gadget seperti pekerja harian hal itu juga menyulitkan.