Mohon tunggu...
Telisik Data
Telisik Data Mohon Tunggu... Penulis - write like nobody will rate you

Fakta dan data otentik adalah oase di tengah padang tafsir | esdia81@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

JokPro 2024 dan Klaim "Relawan" dalam Wacana Jokowi Tiga Periode

20 Juni 2021   15:50 Diperbarui: 21 Juni 2021   06:30 353
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Daur ulang gagasan Jokowi tiga periode kembali meluncur dalam bentuk aksi kongkrit yang mengarah pada penggalangan massa. 

Pro dan kontra kemudian mengiringi ketika Direktur Indo Barometer, M Qodari, turut berperan aktif dalam peluncuran sekretariat Jokowi-Prabowo atau JokPro 2024 (kompas.com, 19/6/2021).

Banyak dugaan motif dapat ditautkan ketika Qodari menggaungkan  lagi wacana presiden 3 periode, apakah ia sedang berpolitik, menyalurkan aspirasi, atau menggagas terobosan ilmiah. 

Pengamat politik dan pendiri kedaiKOPI, Hendri Satrio, menanggapi. Ia sepakat dengan pernyataan Jokowi yang menolak karena hal itu akan menjerumuskan.

Dari sisi Jokowi sendiri sebagai inkumben  sikapnya memang sudah jelas menolak  wacana abal-abal itu. Melalui jejak berita media kita dapat menelusuri bahwa isu tersebut telah muncul sejak tahun 2019 yang langsung ditolak Jokowi mentah-mentah (kompas.com, 12/12/2019). Tahun ini hal itu disinggung lagi beberapa kali antara lain oleh Amien Rais, Arief Poyuono, dan Qodari.

Soal mengapa hal itu terus diperbincangkan, indikasi pencerahannya dapat kita lihat dari respon siapa yang muncul. Atau terutama, pihak yang terus mendesak agar Jokowi segera menanggapi.

Poin penting yang disasar sebenarnya tidak terletak pada  gol tidaknya wacana atau tanggapan Jokowi  sendiri. Faktanya yang telah dan sedang terjadi, wacana  itu menjadi jalan bagi banyak pihak untuk tampil di media.

PKS dan Demokrat bisa memanfaatkan isu ini untuk  menonjolkan citra sebagai penjaga konstitusi dan demokrasi. Komentar kedua partai tersebut  meskipun berbeda tetapi sama-sama mengarah ke Jokowi.

Mardani Ali Sera meminta Jokowi lebih tegas menolak meskipun tahu hal itu sudah berkali-kali dilakukan sebelumnya. Sementara itu Wasekjen Demokrat Irwan mendesak agar Jokowi segera  menegur Qodari.

Irwan, Wasekjen Demokrat (detik.com, 18/6/2021):

"Jika tidak menegur, maka akan ada rakyat yang berkesimpulan bahwa ada pembiaran dari Istana agar isu presiden 3 periode ini terus menggelinding."

Bagi pihak "relawan" sendiri yang melambungkan  Jokowi tiga periode --berpasangan dengan Prabowo-- wacana tersebut seolah menjadi penjajakan eksistensi. Jika berhasil mendapat pengakuan atau apalagi mampu menjaring massa, maka kekuatan itu akan mendapat perhatian parpol.

Jokowi belum lama berselang mengatakan bahwa organisasi relawannya saat ini sangat seksi karena sukses mengantarnya dua periode. Legitimasi sebagai relawan ini yang tampaknya sedang menjadi ladang perburuan baru apalagi dengan mencatut nama besar seperti Jokowi dan Prabowo.

Fenomena relawan capres telah muncul dalam pemilu sebelumnya.

Posisi relawan tidak berada di bawah parpol dan bukan pula sejenis ormas. Meminjam istilah PDIP, organisasi relawan (capres) ini barangkali sejenis organisasi elektoral yang muncul terkait penyelenggaraan pilpres.

Meski sifatnya tidak permanen, dalam perjalanannya keberadaan organisasi relawan cukup diperhitungkan termasuk dalam pertimbangan mengisi  jabatan tertentu. Dalam konteks politik Indonesia  --atau di manapun-- balas jasa kepada pendukung atau relawan dianggap sebagai hal yang wajar.

Jika tujuan permulaan organisasi relawan itu murni aspirasi politik tanpa pamrih yang lalu diapresiasi  oleh pemenang pilpres dalam bentuk anugerah jabatan maka hal itu masih masuk akal. Tetapi jika sejak fase aspirasi  itu sendiri bermasalah maka kemungkinan adanya agenda lain atau tujuan lanjutan patut dicermati.

Sebagai contoh aspirasi Jokowi 3 periode, apa dasar legitimasinya jika Jokowi sendiri sudah secara terbuka menyatakan penolakan berkali-kali? Terlebih dalam sistem konstitusi kita proses tersebut sangat tidak mudah karena memerlukan amandemen UUD.

Berbeda dengan kemunculan gerakan  relawan  Jokowi dalam dua pemilu lalu yang  terasa lebih natural dalam konteks spontanitas dan alasannya.

Jokowi saat itu dianggap berprestasi dan berpotensi tetapi posisinya dalam partai lemah dan belum begitu diperhitungkan. Pengusung Jokowi memang PDIP dkk. tetapi tanpa dukungan massif relawan belum tentu Jokowi mendapat tiket alih-alih Megawati yang maju lagi.

Menyikapi pilpres mendatang, Jokowi sudah memberi arahan kepada para relawannya (yang ori) untuk bersabar menunggu cuaca. Ketika sudah tiba saat yang tepat  Jokowi tentu tak akan menunda keputusan.

Jokowi  (kompas.com, 14/6/2021):

"Mereka bertanya kepada saya. Pak, apa arahan Bapak pada kami dalam menghadapi Pilpres 2024. Kemudian bertanya lagi, apa yang harus kita lakukan? Pertanyaan berikutnya, masa kita diam saja pak? ...Di kesempatan yang baik ini ingin saya sampaikan, sabar, sabar dulu. Tidak usah tergesa gesa, enggak usah tergesa-gesa, nggak usah grusa-grusu." 


Sangat jelas dan bukan gaya Jokowi membuat setingan-setingan politik sejenis wacana presiden tiga periode. Terlebih lagi, saat ini pemerintah sedang fokus menghadapi lonjakan Covid-19 varian baru yang lebih ganas.

Wacana berulang presiden 3 periode dengan imbuhan desakan kepada Jokowi untuk bersuara di sisi lain memperlihatkan pola serupa dalam kasus sebelumnya. Isu begal partai yang menimpa Demokrat bulan-bulan kemarin ujungnya Jokowi juga yang menjadi sasaran.

Presiden didesak untuk memberi penjelasan terkait dugaan keterlibatan Moeldoko di balik manuver beberapa kader Demokrat dan penyelenggaraan KLB Deli Serdang. Presiden juga mendapat tekanan politik untuk mencopot jabatan KSP Moeldoko yang terpilih sebagai ketum tandingan.

Soal Demokrat, bagaimanapun masih dimaklumi jika parpol bermain wacana karena area itu sudah menjadi habitatnya. Akan tetapi dalam konteks isu presiden 3 periode yang didengung-dengungkan figur yang identik dengan lembaga survei, M Qodari, maka hal itu terasa kurang pas.

Mestinya sosok praktisi jajak pendapat lebih berpijak pada ranah akademis agar dapat memberikan perimbangan terhadap wacana-wacana yang dilontarkan parpol. Atau jangan-jangan hal itu sudah tidak relevan kini. Lembaga survei sedang dalam fase transformasi menjadi kekuatan politik baru seperti halnya organisasi relawan.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun