Dampak dari keterlibatan itu, Moeldoko yang sempat ditekan-tekan terbukti masih aman posisinya. Tuntutan mundur sukarela atau dilengserkan Jokowi nyatanya tidak (belum) terbukti. Reshuffle kabinet kemarin bukanlah reshuffle seperti yang dibayangkan.
PDIP sebagai pihak petahana sulit bermain seperti Demokrat meski kasus yang diangkat mungkin real  terjadi. Isu kudeta capres bisa  gagal dikapitalisasi jadi momentum untuk  menambah popularitas partai atau figur. Relatif tidak banyak perubahan.
Jika maksud atau tujuan narasi kudeta capres adalah mengantar  Puan Maharani ke panggung wacana maka dari dulu publik juga sudah ngeh. Namun menyangkut preferensi publik yang dibahasakan sebagai elektabilitas maka persoalan menjadi berbeda. Nama besar tidak serta merta menjadi jaminan.
Tentang istilah capres juga sejatinya mengandung persoalan dari segi pihak yang melontarkannya. Istilah capres saat ini kan sebenarnya berasal  dari lembaga survei dengan pengkondisian "jika pemilu atau pilpres digelar hari ini".
Baik responden survei atau netizen survei umumnya relatif asyik-asyik saja dalam menanggapi  jagoan masing-masing terutama yang berada di 5 besaran: Prabowo, Anies, Ganjar, Ridwan Kamil, dan nama lain yang saling menikung. Sejauh ini tidak satu pun dari nama-nama yang disodorkan lembaga survei  itu terang-terangan menggalang dukungan.
Begitu juga dengan Ganjar Pranowo. Interaksi  yang terjadi melalui akun medsos tampaknya masih normal dalam kapasitas sebagai public figure. Sisi praktis yang penulis amati justru  warga jadi mudah mencolek Ganjar dalam menyelesaikan urusan-urusan pelayanan publik di Jawa Tengah.
Aktif di medsos bukan berarti kerja di lapangan jadi mandek. Jika dibandingkan dengan sesama kepala daerah yang setingkat, intensitas Gubernur Jateng turun ke lapangan ini tidak mengecewakan.
Tafsir PDIP bahwa Ganjar sudah "kemajon" (mendahului) yang berlatar belakang hasil survei  ini yang kemudian perlu dipertanyakan. Diksi yang dikemukakan Bappilu PDIP Bambang Wuryanto ini seolah menjadi titik api permasalahan.
Jika pembandingnya adalah Puan, dengan atau tanpa Ganjar popularitasnya memang masih kurang menggembirakan. Justru sebagai sesama kader separtai  mestinya Bambang atau Puan turut mendukung, ada wakil partai yang mengimbangi  figur-figur unggulan dari partai pesaing.
Faktor-faktor itu yang membuat narasi kudeta capres PDIP jadi kurang menarik. Ganjar masih terlalu superior dibanding putri kandung Megawati ini. Di luar faktor genetis. Di sisi lain, menyadari bahwa narasi itu rentan salah paham atau disalahpahami Ganjar juga tampak menjadi sangat berhati-hati dan irit bicara.