Mohon tunggu...
Telisik Data
Telisik Data Mohon Tunggu... Penulis - write like nobody will rate you

Fakta dan data otentik adalah oase di tengah padang tafsir | esdia81@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Polemik Vaksin Nusantara, Deklarasi Dukungan dan Kubu-kubuan Bukan Solusi

17 April 2021   22:14 Diperbarui: 17 April 2021   23:02 377
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perdebatan menyangkut pro-kontra vaksin Nusantara harus berani membuka opsi penyelesaian sepakat untuk tidak sepakat.

Terdapat tiga pihak yang terlibat: pertama tim vaksin Nusantara sendiri; kedua, BPOM; ketiga, pihak yang peduli tetapi tidak berada pada salah satu kubu. Perlu digarisbawahi di sini bahwa dalam kasus ini tak perlu ada pihak antagonis atau protagonis. Solusi konstruktif harus dikedepankan di atas ego personal dan institusi.

Kontroversi semakin menghangat setelah ada upaya penggalangan "massa" untuk deklarasi mendukung  BPOM. Pagi tadi ada 46 tokoh yang disebut akan tanda tangan, lanjut sorenya jumlah itu  melesat jadi 100. Esok lusa mungkin mencapai 500 atau 1000.

Catatan kompas.com (17/4) di antara 100 tokoh tersebut ada banyak nama tenar, sebut saja KH Mustofa Bisri, Ade Armando, Ainun Nadjib (Cak Nun?), Alissa Wahid, Joko Anwar, Ananda Sukarlan, hingga Pandu Riono.

Secara kelembagaan di pihak BPOM ada Lembaga Biomolekuler Eijkman, Ikatan Dokter Indonesia (IDI), dan Kawal Covid-19.

Dari pihak yang membela dokter Terawan sebagai penggagas vaksin Nusantara, figur yang terang-terangan mendukung juga tidak sembarangan. Meskipun BPOM tidak menerbitkan izin uji klinis tahap dua nyatanya proses pengembangan vaksin Nusantara terus berlanjut.

Sejumlah relawan tidak hanya menyatakan dukungan tetapi juga menyediakan diri sebagai objek penelitian vaksin yang digadang-gadang memiliki sejumlah kelebihan.  Mereka  antara lain sejumlah anggota DPR, kemudian mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo dan mantan Menkes Siti Fadilah Supari.

Catatan Dahlan Iskan menambah panjang daftar itu; ada Aburizal  Bakri, Sudi Silalahi, dan Prof. Dr. Nidom. Dalam tulisan yang terdiri dari 5 seri tentang vaksin Nusantara, Dahlan mengungkapkan kecenderungan untuk berpihak pada Nusantara. Hal itu terungkap secara eksplisit pada tulisan yang terbit hari ini di laman disway.id.

Secara kelembagaan pengembangan vaksin Nusantara ternyata mendapat dukungan dari RSPAD, Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat. Setelah sebelumnya penelitian dilakukan di RS Kariadi Semarang, sekarang VakNus --demikian Dahlan menyebut-- ditarik sepenuhnya ke RSPAD.

Pihak TNI AD sebagai lembaga yang menaungi  RSPAD ternyata juga memberikan restu secara internal. Sampai titik ini tak perlu spekulasi bahwa restu berlanjut ke lembaga yang lebih tinggi, TNI di bawah Panglima Hadi Tjahjanto.  

Sebagai  pihak penilik yang mengawasi proses penelitian yaitu Prodia. Pihak swasta. Jadi meskipun BPOM tidak terlibat dan tidak merestui, ada usaha untuk menjaga unsur legitimasi ilmiah yang dilakukan oleh tim Terawan.

Poin penting dari kubu pro-VakNus adalah fakta bahwa Siti Fadilah dan Prof. Nidom adalah orang yang mengerti virus dan paham metodologi penelitian. Katakanlah dukungan DPR dan Gatot Nurmantyo dikritik sebagai nasionalisme yang tidak saintifik, tetapi dukungan kedua figur tadi tidak bisa diabaikan begitu saja.

Kenyataan lain adalah keunggulan vaksin Nusantara yang dikatakan Siti Fadilah bersifat personal. Artinya mirip kaidah demokrasi, vaksin tersebut dari  tubuh sendiri dan untuk tubuh sendiri. Hanya saja proses vaksinasi tidak dilakukan oleh diri sendiri tetapi oleh tim Terawan di RSPAD.

Sejauh ini sudah ada 28 relawan yang disebut BPOM telah menjadi donor sel darah putih. Mereka menyumbangkannya sebagai  bahan baku  vaksin yang berbasis sel dendritik ini yaitu sebagai agen pemicu kekebalan tubuh terhadap Covid-19.

Sifat personal vaksin Nusantara ini yang kemudian secara tidak tepat digembar-gemborkan oleh Natalia Soebagjo --penggagas deklarasi-- akan menentukan nasib jutaan rakyat. Sel dendritik yang diambil itu akan dikembalikan kepada empunya sendiri. Bukan untuk dikultur secara massal lalu didistribusikan kepada jutaan individu lain seperti halnya Sinovac atau AstraZeneca.

Faktor personal ini pula yang menjadi poin penting keunggulan vaksin Nusantara. Karena sel dendritik berasal dari sel darah putih yang diambil dari tubuh sendiri maka resistensi atau penolakan tidak akan terjadi. Bagi pengidap autoimun atau punya riwayat komorbid hal ini sangat penting.

Relawan dari DPR Adrian Napitupulu  mengaku punya komorbid penyakit jantung dan karena itu tak bisa menggunakan vaksin AstraZeneca atau Sinovac. Siti Fadilah memiliki kondisi autoimun yang membuatnya perlu waspada terhadap benda asing yang masuk ke dalam tubuh. Begitu pula dengan Dahlan Iskan yang merupakan resipien cangkok hati. Kabar terbaru, pasutri Anang-Ashanty antre pula di RSPAD Gatot Subroto. Ashanty diketahui menderita autoimun.

Sisi kelebihan vaksin Nusantara itu yang tak boleh dikesampingkan. Terdapat segelintir minoritas penderita komorbid atau kondisi khusus yang  tak bisa diakomodir oleh vaksin-vaksin sapu jagat.

Baca: Mengulik Vaksin Nusantara yang Berbasis Sel Dendritik

Lalu apa gunanya deklarasi-deklarasian itu? Persoalan vaksin dan pengembangannya harusnya ditarik ke sisi pragmatisnya dalam penanggulangan dan pencegahan pandemi corona.

Jika melihat kilas balik proses pengembangan vaksin itu sendiri secara umum, fakta menunjukkan bahwa vaksin-vaksin yang ada tidak sepenuhnya melalui jalur normal. Ada peringkasan prosedur di mana mekanisme yang seharusnya berlangsung selama 5-10 tahun tetapi mengalami "akselerasi" tak lebih dari dua tahun.

Berkaitan dengan hal itu maka pihak yang bersengketa baiknya duduk bersama untuk mendekati solusi terbaik,  bukan malah menggalang massa. Jika opsi tersebut sudah tertutup maka yang bisa dilakukan adalah --untuk sementara-- bersepakat untuk tidak sepakat. Masing-masing pihak fokus pada penelitian masing-masing. Eijkman sebagai contoh, diketahui saat ini sedang menangani vaksin Merah Putih yang telah mendapat lampu hijau baik dari BPOM maupun IDI. Juga ada vaksin Anhui di UNPAD Bandung.

Kita mendukung dan berdoa semoga seluruh tim menemukan hasil terbaik. Indonesia perlu juga swasembada vaksin, misalnya antara lain karena embargo vaksin oleh India setelah kasus di sana melonjak tinggi. Tahun ini kita masih berada pada tahun pandemi  Covid-19, belum masuk tahun politik. Belum saatnya deklarasi.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun