Poin penting dari kubu pro-VakNus adalah fakta bahwa Siti Fadilah dan Prof. Nidom adalah orang yang mengerti virus dan paham metodologi penelitian. Katakanlah dukungan DPR dan Gatot Nurmantyo dikritik sebagai nasionalisme yang tidak saintifik, tetapi dukungan kedua figur tadi tidak bisa diabaikan begitu saja.
Kenyataan lain adalah keunggulan vaksin Nusantara yang dikatakan Siti Fadilah bersifat personal. Artinya mirip kaidah demokrasi, vaksin tersebut dari  tubuh sendiri dan untuk tubuh sendiri. Hanya saja proses vaksinasi tidak dilakukan oleh diri sendiri tetapi oleh tim Terawan di RSPAD.
Sejauh ini sudah ada 28 relawan yang disebut BPOM telah menjadi donor sel darah putih. Mereka menyumbangkannya sebagai  bahan baku  vaksin yang berbasis sel dendritik ini yaitu sebagai agen pemicu kekebalan tubuh terhadap Covid-19.
Sifat personal vaksin Nusantara ini yang kemudian secara tidak tepat digembar-gemborkan oleh Natalia Soebagjo --penggagas deklarasi-- akan menentukan nasib jutaan rakyat. Sel dendritik yang diambil itu akan dikembalikan kepada empunya sendiri. Bukan untuk dikultur secara massal lalu didistribusikan kepada jutaan individu lain seperti halnya Sinovac atau AstraZeneca.
Faktor personal ini pula yang menjadi poin penting keunggulan vaksin Nusantara. Karena sel dendritik berasal dari sel darah putih yang diambil dari tubuh sendiri maka resistensi atau penolakan tidak akan terjadi. Bagi pengidap autoimun atau punya riwayat komorbid hal ini sangat penting.
Relawan dari DPR Adrian Napitupulu  mengaku punya komorbid penyakit jantung dan karena itu tak bisa menggunakan vaksin AstraZeneca atau Sinovac. Siti Fadilah memiliki kondisi autoimun yang membuatnya perlu waspada terhadap benda asing yang masuk ke dalam tubuh. Begitu pula dengan Dahlan Iskan yang merupakan resipien cangkok hati. Kabar terbaru, pasutri Anang-Ashanty antre pula di RSPAD Gatot Subroto. Ashanty diketahui menderita autoimun.
Sisi kelebihan vaksin Nusantara itu yang tak boleh dikesampingkan. Terdapat segelintir minoritas penderita komorbid atau kondisi khusus yang  tak bisa diakomodir oleh vaksin-vaksin sapu jagat.
Baca: Mengulik Vaksin Nusantara yang Berbasis Sel Dendritik
Lalu apa gunanya deklarasi-deklarasian itu? Persoalan vaksin dan pengembangannya harusnya ditarik ke sisi pragmatisnya dalam penanggulangan dan pencegahan pandemi corona.
Jika melihat kilas balik proses pengembangan vaksin itu sendiri secara umum, fakta menunjukkan bahwa vaksin-vaksin yang ada tidak sepenuhnya melalui jalur normal. Ada peringkasan prosedur di mana mekanisme yang seharusnya berlangsung selama 5-10 tahun tetapi mengalami "akselerasi" tak lebih dari dua tahun.
Berkaitan dengan hal itu maka pihak yang bersengketa baiknya duduk bersama untuk mendekati solusi terbaik, Â bukan malah menggalang massa. Jika opsi tersebut sudah tertutup maka yang bisa dilakukan adalah --untuk sementara-- bersepakat untuk tidak sepakat. Masing-masing pihak fokus pada penelitian masing-masing. Eijkman sebagai contoh, diketahui saat ini sedang menangani vaksin Merah Putih yang telah mendapat lampu hijau baik dari BPOM maupun IDI. Juga ada vaksin Anhui di UNPAD Bandung.