Mohon tunggu...
Telisik Data
Telisik Data Mohon Tunggu... Penulis - write like nobody will rate you

Fakta dan data otentik adalah oase di tengah padang tafsir | esdia81@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kode Keras Jokowi, Terorisme Harus Dilawan dengan Ideologi Kemanusiaan

5 April 2021   09:15 Diperbarui: 5 April 2021   10:16 315
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penyerahan bantuan oleh Kapolres Sukabumi kepada S, istri terduga jaringan teroris yang ditangkap aparat, 4/4/2021 (Foto: kompas.com/ Polres Sukabumi)

Penangkapan terduga jaringan teroris berujung duka bagi keluarga S. Usai suaminya, BS, diciduk aparat karena terindikasi  terlibat, ibu rumah tangga itu bingung bagaimana menghidupi diri dan anaknya yang masih bayi. Selain tidak bekerja, suaminya meninggalkan utang cicilan pinjaman ke bank.

Keluhan S yang diberitakan media kemudian sampai ke telinga Jokowi. Tak lama bantuan dikirim untuk meringankan beban keluarga S.

Sepenggal potret keluarga S menunjukkan bahwa memerangi terorisme memang dilematis. Salah posisi bisa berujung fitnah dan kecurigaan.

Misalnya ketika tetangga kita ada yang tertangkap aparat karena dugaan terorisme. Meskipun terbersit keinginan untuk membantu kehidupan keluarganya yang terbengkalai, tetapi keraguan mau tak mau mesti muncul juga. Jangan-jangan malah dikira ikut membiayai jaringan.

Hal-hal yang terlihat kecil itu sebenarnya adalah persoalan serius menyangkut kehidupan dan kebutuhan primer manusia. Dalam banyak kasus, kelompok yang berideologi radikal kerap menutup diri dengan masyarakat sekitar. Sering pula di antara mereka putus kontak dengan kerabat-kerabatnya. Pada saat mendapatkan kesulitan maka otomatis jaring-jaring sosial pengaman orang-orang tersebut juga tidak bekerja.

Dalam kasus penembakan Mabes Polri, pelaku ZA dikenal tetangga kurang bersosialisasi. Keluarganya juga bahkan susah menghubungi karena nomor ponselnya berganti-ganti. Beruntung tetangga sekitar memahami kondisi tersebut. Mereka menguatkan orang tua ZA agar tabah menghadapi peristiwa yang mereka alami.

Tetapi di sisi lain, tidak selalu uluran tangan simpati diterima oleh pihak yang terlibat jaringan. Beberapa waktu lalu di linimasa twitter melintas unggahan video kondisi kamp yang dihuni jaringan ISIS di Suriah. Di kawasan penampungan tersebut banyak pula warga asal Indonesia.

Yang membuat miris adalah saat seorang wanita petugas kemanusiaan datang untuk membantu. Kedatangannya malah dicegat dengan tatapan kebencian karena yang bersangkutan tidak berjilbab. Bukannya sambutan hangat yang didapat tetapi sambitan kerikil anak-anak penghuni kamp kepada sosok perempuan yang dianggap kafir itu.

Cerita mengenai hal serupa pernah diungkapkan Menkopolhukam Mahfud MD. Bantuan kemanusiaan yang diberikan ditanggapi dengan sikap yang tidak bersahabat. Data pemerintah menyatakan ada sekitar 6000 WNI yang terpapar paham teror tersebar di berbagai negara.

Menkopolhukam Mahfud MD (tempo.co, 10/1/2020):

"Kita punya FTF (foreign terrorist fighters) banyak yang mesti kita pulangkan. Misalnya dari Suriah aja kita punya 187, pokoknya lebih. ... Anak-anak itu matanya udah tajam-tajam, seperti mau membunuh aja gitu."

Tidak hanya WNI yang nekad berangkat "jihad", ada juga terungkap dugaan penyalahgunaan kiriman bantuan berlabel kemanusiaan. Bersamaan dengan pengejaran jaringan teroris pasca insiden bom Katedral Makassar dan penembakan Mabes Polri, Densus 88 menggeledah kantor Syam Organizer di Jogja.

Jika bantuan yang disalurkan Syam Organizer betul-betul untuk kemanusiaan maka niat mulia tersebut haruslah didukung. Akan tetapi jika terbukti dana yang terkumpul dari masyarakat digunakan untuk mempersenjatai jaringan teroris trans-nasional maka pengelola harus mempertanggungjawabkan perbuatannya (cnnindonesia.com, 5/4/2021).

Bantuan kemanusiaan harus jelas pertanggungjawabannya. Selain audit keuangan, pemerintah juga harus memastikan bahwa pihak penerima adalah warga korban konflik bukan justru pelaku aktif.

Berkaitan dengan inisiatif bantuan Jokowi kepada keluarga S yang suaminya ditangkap Densus 88 di Sukabumi, ada pesan terselip agar tak perlu ragu membantu mereka yang terdampak konflik ideologi. Berbekal kearifan lokal hidup bertetangga yang guyub kita dapat pula menengarai dengan cepat adanya hal-hal yang tidak beres di sekitar lingkungan. Salah satu permasalahan --terutama di kalangan urban kota-- adalah sikap hidup individualis yang dapat mendukung perkembangan ideologi atau paham keliru.

Harus ada pemisahan yang jelas. Kita memerangi dengan keras dan tanpa kompromi untuk tindak terorisme. Namun demikian kita juga harus jeli melihat bahwa di antara para terduga jaringan dan pelaku teror itu mungkin ada warga yang terperangkap situasi seperti perempuan dan anak-anak seperti kasus-kasus di atas.

Ideologi teror yang kesumatnya begitu gigih  ingin membunuh sebanyak-banyaknya orang yang dianggap lawan mestinya dihadapi dengan ideologi kemanusiaan.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun