Densus 88 menggeledah rumah pelaku serangan di Mabes Polri 31/3/2021 sore. Sejumlah data dan fakta diperoleh aparat sebagai bahan pendalaman lebih lanjut. Garis polisi kemudian membentang di lokasi untuk keperluan penyidikan. Insiden serangan yang melibatkan perempuan muda berpistol tersebut hanya berselang 3 hari dengan kejadian bom bunuh diri di Makassar sebelumnya.
Berdasarkan data dan fakta yang tampil di media, sulit mengatakan bahwa ZA, perempuan muda berpistol, ini berasal dari keluarga miskin. Rumah tempat tinggalnya tergolong bagus dan di Jakarta pula, bukan di kampung pelosok yang gersang. ZA diketahui pernah kuliah dan yang bersangkutan memiliki kartu anggota Perbakin.
Fakta tersebut jelas mematahkan argumen anggota DPR Bukhori Yusuf tempo hari bahwa akar terorisme dan radikalisme adalah ketidakadilan. Pernyataan Ketua DPP PKS itu dilontarkan untuk membantah pernyataan Ketum PBNU KH Said Aqil yang menyebut paham Wahabi sebagai pintu masuk doktrin terorisme (detik.com, 30/3/2021).
Pernyataan KH Said Aqil:
"Ajaran Wahabi bukan terorisme, bukan, Wahabi bukan terorisme, tapi pintu masuk. Kalau udah Wahabi, 'ini musyrik, ini bid'ah, ini sesat, ini nggak boleh, ini kafir, itu langsung satu langkah lagi, satu step lagi sudah halal darahnya boleh dibunuh'. Jadi benih pintu masuk terorisme adalah Wahabi dan Salafi. Wahabi dan Salafi adalah ajaran ekstrem."
Bantahan Bukhori Yusuf:
"Dalam kaitannya, terorisme dan radikalisme menurut saya pemicu terbesarnya itu adalah ketidakadilan dalam kehidupan, dalam kesejahteraan dan kesenjangan dalam mengakses kesempatan."
Fenomena salah pengajian
Jika melihat kondisi sosial ekonomi pelaku ZA tadi, perempuan milenial (25 tahun) itu tak bisa disebut sebagai warga tidak sejahtera atau mengalami kesenjangan mengakses kesempatan. Pernah kuliah dan mampu berlatih menembak --punya kartu Perbakin-- itu tidak semua warga beruntung mendapatkannya. Juga aktif dalam group WA keluarga, artinya persoalan kepemilikan alat komunikasi modern dan akses informasi sudah selesai.
Dalam beberapa penangkapan terduga jaringan teror kita juga melihat bahwa banyak di antara mereka memiliki usaha yang baik. Dengan demikian masalah ketidakadilan sosial ekonomi tidak tepat dikatakan sebagai pemicu terbesar terorisme dan radikalisme.
Argumen ini dengan mudah menjelaskan mengapa pelaku teror nyatanya memang bervariasi. Ada yang kaya ada yang miskin; ada laki-laki dan perempuan; ada orang kota atau warga pelosok; ada pula generasi milenial atau yang sudah berumur. Artinya persoalan-persoalan tersebut dapat diabaikan ketika pemahaman di dalam otak sudah tercuci oleh doktrin yang keliru.
Menurut pengalaman penulis, baik yang dialami sendiri atau cerita kawan, persoalan salah pengajian ini memang serius dan berdampak merugikan individu yang bersangkutan dan keluarganya.
Seorang rekan kerja sekantor dulu bercerita bahwa betapa sulit ia mau berhenti "mengaji" di satu kelompok khusus meski ia telah berkali-kali menolak. Kawan-kawan sepengajiannya yang lama kerap mendatangi dan berani mengancam jika keluar dari jamaah. Akan tetapi kawan saya itu sudah bulat tekad untuk melepaskan diri karena merasa tidak sepaham.
Ketika kuliah dahulu bukan sekali dua penulis mendengar mahasiswa yang tiba-tiba drop out atau membatasi hubungan dengan keluarga, bahkan orang tua.
Dalam satu kesempatan, seorang kenalan yang tak terlalu akrab tiba-tiba datang dan to the point menyampaikan maksud mau meminjam uang. Meski janggal tetapi alasan untuk menolong seseorang yang mengalami kecelakaan cukup masuk di akal. Beruntung saat itu uang sedang tak banyak sehingga penulis tak memberikan uang sepeser pun. Usut punya usut belakangan, ternyata hal itu cuma modus belaka. Kawan tadi rupanya melakukan hal yang sama ke banyak orang dan kuliahnya pun akhirnya bubar. Keluarga menyerah.
Uang yang dia kumpulkan bukanlah untuk dugem atau foya-foya, karena toh kawan tadi tentu orang saleh. Ia rela memberikan uangnya sendiri, uang SPP, sampai pinjam uang teman --untuk kemudian harus diikhlaskan-- demi tuntutan setoran sejumlah nominal tertentu kepada kelompoknya. Uang dipergunakan sebagai dana perjuangan merealisasikan tujuan gerakan di pusat yang entah di mana.
Tidak begitu jelas bagaimana nasib kawan tadi dan perkembangan kelompok mereka. Namun mencermati berita hingga hari ini kelompok-kelompok pengajian eksklusif yang tertutup agaknya belum surut. Jangan-jangan malah semakin berkembang dengan kemudahan memanfaatkan jaringan media sosial.
Radikalisme berawal dari gagasan
Terkait dengan akar radikalisme dan terorisme, Bukhori Yusuf mestinya mau membuka mata pada persoalan dalam tataran ide atau gagasan beserta penyebarannya. Berbeda pendapat dengan KH Said Aqil bukan masalah tetapi PKS juga harus melihat sisi gelap aktivitas ekstra-kurikuler keagamaan eksklusif tertentu yang berkembang di kampus, sekolah, atau di kalangan warga.
Kesenjangan sosial dan ketidakadilan memang ada tetapi akar radikalisme dan terorisme tidak berada di situ. Tema-tema itu hanyalah sekadar alat atau gimmick saja dan ujung-ujungnya warga atau jamaah yang terperangkap akan dibawa untuk menyelisihi tatanan yang ada.
Kajian atau pengajian yang positif mestinya punya output gagasan untuk hidup dan menghidupi sekeliling dengan kebaikan. Mengambil jalan pintas dengan memberontak terhadap tatanan bermasyarakat atau pemerintahan yang sah bukanlah pilihan yang sehat. Apalagi sampai punya niat membunuh sesama lewat jalur bunuh diri atas nama jihad.
Niat baik memperbaiki diri seharusnya berujung pada kehendak memberikan manfaat sebanyak-banyaknya kepada kehidupan. Bukankah begitu maksud ajaran Islam sebagai rahmatan lil alamin?***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H