Dalam satu kesempatan, seorang kenalan yang tak terlalu akrab tiba-tiba datang dan to the point menyampaikan maksud mau meminjam uang. Meski janggal tetapi alasan untuk menolong seseorang yang mengalami kecelakaan cukup masuk di akal. Beruntung saat itu uang sedang tak banyak sehingga penulis tak memberikan uang sepeser pun. Usut punya usut belakangan, ternyata hal itu cuma modus belaka. Kawan tadi rupanya melakukan hal yang sama ke banyak orang dan kuliahnya pun akhirnya bubar. Keluarga menyerah.
Uang yang dia kumpulkan bukanlah untuk dugem atau foya-foya, karena toh kawan tadi tentu orang saleh. Ia rela memberikan uangnya sendiri, uang SPP, sampai pinjam uang teman --untuk kemudian harus diikhlaskan-- demi tuntutan setoran sejumlah nominal tertentu kepada kelompoknya. Uang dipergunakan sebagai dana perjuangan merealisasikan tujuan gerakan di pusat yang entah di mana.
Tidak begitu jelas bagaimana nasib kawan tadi dan perkembangan kelompok mereka. Namun mencermati berita hingga hari ini kelompok-kelompok pengajian eksklusif yang tertutup agaknya belum surut. Jangan-jangan malah semakin berkembang dengan kemudahan memanfaatkan jaringan media sosial.
Radikalisme berawal dari gagasan
Terkait dengan akar radikalisme dan terorisme, Bukhori Yusuf mestinya mau membuka mata pada persoalan dalam tataran ide atau gagasan beserta penyebarannya. Berbeda pendapat dengan KH Said Aqil bukan masalah tetapi PKS juga harus melihat sisi gelap aktivitas ekstra-kurikuler keagamaan eksklusif tertentu yang berkembang di kampus, sekolah, atau di kalangan warga.
Kesenjangan sosial dan ketidakadilan memang ada tetapi akar radikalisme dan terorisme tidak berada di situ. Tema-tema itu hanyalah sekadar alat atau gimmick saja dan ujung-ujungnya warga atau jamaah yang terperangkap akan dibawa untuk menyelisihi tatanan yang ada.
Kajian atau pengajian yang positif mestinya punya output gagasan untuk hidup dan menghidupi sekeliling dengan kebaikan. Mengambil jalan pintas dengan memberontak terhadap tatanan bermasyarakat atau pemerintahan yang sah bukanlah pilihan yang sehat. Apalagi sampai punya niat membunuh sesama lewat jalur bunuh diri atas nama jihad.
Niat baik memperbaiki diri seharusnya berujung pada kehendak memberikan manfaat sebanyak-banyaknya kepada kehidupan. Bukankah begitu maksud ajaran Islam sebagai rahmatan lil alamin?***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H