Saya vote tidak menarik saja itu artikel Khrisna Pabichara yang menyoal notifikasi admin terkait tulisan yang tidak lolos saringan. Tidak menarik untuk mewakili katarsis perasaan  tidak menyenangkan yang juga penulis alami  untuk yang kedua kalinya dalam kasus serupa. Dan kemudian bertambah jadi tiga.
Latar belakangnya yaitu ketika penulis menyiang laman untuk menemukan penjelasan di mana letak permasalahan atau duduk persoalan. Dan ndilalah ternyata tulisan KP itu yang kemudian tampil pada layar.
Penjelasan sebelumnya dari pihak pengelola lewat tulisan Chief Operating Officer Nurulloh beberapa waktu lalu cukup menyibak sedikit kabut misteri. Namun demikian penjelasan tersebut juga membuka ruang tanya lebih luas: kriteria kata/ kalimat apakah yang menjadi penyebab satu artikel gagal tayang?
Penulis menduga bahwa saringan tulisan tidak hanya soal kata atau kalimat tetapi juga soal tema/ topik dan atau pemantauan akun.
Faktor tema/ topik ini (semoga keliru) berkaitan dengan kondisi eksternal terutama situasi politik keamanan. Bersifat multitafsir, bekerja manual dan melibatkan banyak kepentingan (baca: tekanan). Sementara itu deteksi tulisan dengan menggunakan algoritma komputer sifatnya sistemik dan berjalan otomatis. Artinya, tidak ada tafsir siapa-siapa di situ. Komputer membaca dan mematuhi algoritma seperti kita mengerjakan matematika. Misal 1+1 = 2, atau 4x4 = 16.
Berdasarkan apakah dugaan penulis terlontar?
Dasar dugaan adalah pengalaman terblokirnya artikel pada kesempatan sebelumya. Meskipun sebelumnya sudah dilakukan kontrol internal secara memadai --agar tidak melanggar S&K-- tetapi pengalaman pemblokiran yang pertama memaksa penulis bekerja ekstra saat mengaudit.
Dalam artikel terblokir yang kedua di dalamnya (juga) tidak ada kata/ kalimat yang mengandung fitnah, ujaran kebencian, atau hasutan. Sumber-sumber referensi media kredibel dicantumkan secara lengkap.
Konten opini yang terkandung di dalam yaitu berisi himbauan atau harapan. Pertama, secara implisit penulis menyampaikan harapan agar akademisi tidak tendensius dalam menyorot satu permasalahan dalam hal ini wacana presiden 3 periode. Kedua, harapan kepada presiden agar tidak berkutat pada wacana tetapi fokus bertindak, dalam hal ini yaitu menuntaskan kasus megakorupsi.
Lantas di manakah letak sensitivitasnya? Bukankah hal-hal seperti itu sifatnya sangat umum?
Berkaitan dengan permasalahan tersebut penulis mengharapkan agar mekanisme algoritma penyaringan sistemik dan atau manual --jika ada-- untuk diberikan penjelasan lebih lanjut oleh Admin pengelola Kompasiana. Penundaan tayang artikel selama 9 jam dengan notifikasi default itu secara psikologis cukup meresahkan, intimidatif, dan tidak menarik.
Dalam artikel tanggapan KP yang penulis ceritakan di depan disampaikan soal 33.000 artikel terciduk pada tahun lalu dengan 700 di antaranya memuat pelanggaran berat. Hal itu tentunya berdasarkan statistik Kompasiana yang disampaikan Nurulloh yang juga sudah disinggung di muka.
Ketiga artikel penulis yang terdeteksi sistem seluruhnya ternyata clear --tidak ada pelanggaran substantif-- dan hanya ada sedikit penyuntingan pada judul yang bersifat non-substantif (menurut Admin).
Dari komentar yang penulis baca pada beberapa kolom tulisan terungkap bahwa soal ini juga dialami beberapa Kompasianer. Namun demikian tanggapan KP itulah salah satu yang menurut penulis cukup komprehensif menjelaskan keluhan atas mekanisme penyaringan artikel akhir-akhir ini.Â
Terakhir, penulis ingin menghasut pembaca untuk mem-vote artikel (pengalaman) ini tidak menarik, tetapi karena hal itu berdasarkan S&K tidak diperkenankan maka penulis serahkan kemerdekaan sepenuhnya kepada rekan Kompasianer untuk memberikan tanggapan.
Demikian sedikit kopi hambar pada siang yang lumayan berisik di luar. Pandemi? Sudah lewat kayaknya!***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H