Wacana presiden 3 periode adalah isu lama pada Desember tahun 2019 yang sudah tegas dijawab Jokowi. Dalam sesi tanya jawab dengan wartawan di istana, Jokowi mengungkap 3 motif pihak yang mengangkat isu tersebut: ingin menampar wajah, mencari muka, atau ingin menjerumuskan.
Jokowi juga menyampaikan jawaban yang sama secara lebih formal bahwa dirinya mematuhi masa pembatasan periode jabatan presiden hanya sampai 2 periode.
Baca: Wacana usang presiden 3 periode sudah dibantah Jokowi
Namun demikian, isu perpanjangan jabatan presiden 3 periode yang diangkat kembali Arief poyuono dan Amien Rais semakin liar. Sejumlah dosen perguruan tinggi ikut menyuarakan masalah yang memerlukan kewenangan MPR untuk mengamandemen UUD 1945 itu.
Dosen UGM Abdul Gaffar Karim menyatakan kekhawatiran penumpukkan kekuasaan jika  wacana tersebut menjadi kenyataan. Pakar politik pemerintahan itu menilai bahwa penguasa akan mengumpulkan resources sosial, politik, dan ekonomi  dalam genggamannya jika berkuasa sampai 3 kali (kompas.com, 17/3/2021).
Sebelumnya, pengamat politik Ujang Komarudin mengemukakan kemungkinan dua motif berdasarkan siapa yang mengusulkan. Menurut dosen Universitas Al Azhar itu, jika pengusulnya adalah awam maka penyebabnya adalah soal ketidaktahuan. Tetapi, jika yang mengusulkan adalah politisi maka kecenderungannya adalah melanggengkan kekuasaan.
Ujang Komarudin, Universitas Al Azhar (jpnn.com, 18/2/2021):
"Kalau itu dikemukakan oleh pihak yang selama ini berkecimpung di panggung politik atau berada dalam kekuasaan, maka kemungkinan alasan utamanya hanya ingin nyaman. Lebih pada keinginan melanggengkan kekuasaan."
Universitas Andalas menyumbangkan dua pendapatnya.
Feri Amsari, pakar hukum tata negara menduga Jokowi tergoda kekuasaan seperti Soekarno dan Soeharto. Selain komentar Direktur Eksekutif PUSAKO (Pusat Studi dan Konstitusi), ada pula pengamat komunikasi politik Najmudin Rasul yang menyampaikan tuduhan agenda terselubung dengan motif politik dan ekonomi. Kepada republika.co.id (19/3/2021) ia menuding ada kelompok kepentingan di sekitar Jokowi.
Feri Amsari, PUSAKO Universitas Andalas (tempo.co, 17/3/2021):
"Godaan yang sama saya yakin juga sedang dialami dan menggoda Presiden Jokowi untuk memperpanjang periodisasi masa jabatannya."Â
Fenomena akademisi yang menyampaikan komentar lewat media mainstream ini akan lebih banyak jika ditelusuri lebih lanjut. Direktur Voxpol Center Research and Consulting, Pangi Syarwi Chaniago, secara ajaib menghubungkan kudeta Demokrat sebagai bagian skenario menuju presiden 3 periode (wartaekonomi.co.id, 12/3/2021).
Bagaimanapun juga penguatan wacana itu menyulitkan Jokowi. Publik akan menangkap kesan bahwa wacana presiden 3 periode itu adalah kenyataan karena suara akademisi yang diamplifikasi media itu seolah menjadi pembenaran.
Fakta bahwa amandemen UUD 1945 itu sesuatu yang sangat berat dan rumit diabaikan oleh akademisi-akademisi itu. Sulit sekali  karena meskipun Jokowi menguasai suara parlemen 80% dan wacana amandemen sendiri juga ada yaitu terkait GBHN, tetapi menyelundupkan kepentingan perpanjangan jabatan nyaris mustahil.
Jokowi memang sudah membantah  2 kali, pada tahun 2019 dan tahun ini. Namun penyangkalan tersebut menjadi ambyar dan persepsi Jokowi berkepentingan memperpanjang masa jabatan tak terhindarkan.
Selain itu penyangkalan Jokowi kemudian dipatahkan pula oleh dua pembanding lain yang meski dipaksakan tetapi cukup efektif. Pertama, penolakannya membahas pilpres saat menjadi Gubernur DKI tetapi kemudian ia bersedia dicalonkan. Yang kedua, saat kampanye tidak akan mengimpor beras tetapi kemudian saat ini Menperindag akan impor 1 juta ton. Aspek-aspek dinamika yang terjadi di dalam proses-proses perubahan keputusan dipangkas hingga tersisa ujung dan pangkal saja.
Dalam konteks penguasaan parlemen (bergabungnya Gerindra) yang sedianya bertujuan memperlancar legislasi program kerja, hal ini dijadikan pula poin yang memberatkan. Seperti isu kudeta Demokrat, penguasaan parlemen disebutkan sebagai langkah koalisi istana untuk memuluskan amandemen UUD 1945.
Lantas bagaimana pihak Jokowi menanggapi?
Secara formal-normatif  Jokowi dan pembantu-pembantunya mengedepankan langkah konstitusional dalam merespons isu-isu aktual. Polemik dualisme Demokrat diserahkan kepada independensi hukum dan AD/ ART partai, sedangkan urusan masa jabatan presiden ditegaskan sebagai kewenangan MPR. Namun demikian di kalangan loyalis isu yang diangkat cenderung berbeda.
Saat ini kalangan loyalis menyoroti pemberantasan megakorupsi bernilai total puluhan triliun yang menyangkut banyak pejabat pada masa lalu. Kasus e-KTP, Asabri, Jiwasraya, hingga terbaru yaitu  penetapan tersangka kasus Bank Bukopin yang menyeret Dirut Bosowa, Sadikin Aksa.
Jokowi juga seolah menggarisbawahi ihwal pemberantasan korupsi ini dengan mengangkat lagi kasus Hambalang. Dalam rapat terbatas (15/3) bersama Menpora tempo hari terungkap rencana untuk menuntaskan pembangunan proyek mangkrak Wisma Atlet yang menjebloskan banyak  kader Demokrat ke penjara.
Menjelang akhir masa pandemi memasuki kenormalan baru --semoga-- agaknya pedal gas sudah diinjak kuat-kuat. Sebagian mungkin untuk Pilpres 2024; sementara sebagian lagi untuk urusan lain. Jokowi tak perlu risau lagi soal periode ketiga, jadi sebaiknya gaspol saja pada langkah kongkrit pemberantasan megakorupsi selain pemulihan ekonomi.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H