Upaya yang dilakukan Demokrat untuk melambungkan isu kudeta sudah bergeser terlalu jauh. Meski pemerintah mengakomodasi dan mempersilakan pihak-pihak yang bertikai untuk menempuh jalur hukum tetapi kader Demokrat terus mengembangkan isu-isu turunan.
Satu isu dilontarkan Benny K Harman yang mengatakan adanya tekanan intel polisi di daerah terhadap kader Demokrat (kompas.com, 9/3/2021).
Ada 2 poin  yang perlu dicermati. Pertama, institusi kepolisian coba ditarik ke dalam kisruh pertikaian internal Demokrat. Kedua, usaha mengembangkan wacana yang tadinya cuma terkonsentrasi di pusat (Jakarta) menjadi bertambah luas hingga masuk ke daerah-daerah.
Artikel saya yang terakhir menulis topik tersebut karena mulai terasa ada gelagat tidak sehat yang sedang terjadi. Â
Tulisan berjudul "Jokowi Enggan Merespons Wacana Kudeta Demokrat" tersebut sebelumnya sempat terblokir sistem secara otomatis dan karena itu gagal tayang beberapa saat. Informasi ini ada dalam notifikasi yang juga menjelaskan apa langkah berikutnya yang harus penulis  lakukan. Menunggu.
Maaf, artikel Anda yang berjudul "Mati-matian Cari Perhatian, SBY Tak Membuat Jokowi Terkesan" terblokir secara otomatis oleh sistem dikarenakan ada kata/kalimat yang dilarang di Kompasiana. Tim akan segera memeriksa kembali artikel Anda. Harap menunggu.
Selang beberapa waktu pemeriksaan pun kelar. Kurang lebih 3 jam.
Saya membayangkan ada beberapa motor .. eh artikel, yang terkena razia algoritma sistem dan lantas memaksa Admin melakukan uji kelaikan. Syukurlah surat-menyurat lengkap dan artikel terbukti tidak mengandung unsur-unsur yang memabukkan seperti narkoba atau zat psikotropika. Tak pula terciduk ada senjata tajam. Â
Dear Kompasianer,
Sesuai dengan S&K Kompasiana, dalam rangka melakukan optimasi, konten Anda yang berjudul "Mati-matian Cari perhatian, SBY Tidak Membuat Jokowi Terkesan" perlu mengalami penyuntingan yang sifatnya redaksional (non-substatif) pada segi judul sehingga menjadi "Menunggu Respons Jokowi tentang Kudeta Demokrat"
Semoga Anda berkenan dengan informasi ini dan terima kasih atas kesediaan Anda.
Terima kasih.
Salam.
Kompasiana.
Dapat pembaca cermati bahwa artikel terblokir secara otomatis karena terdapat kata/ kalimat yang dilarang. Namun demikian bagaimana persisnya algoritma sistem ini bekerja sehingga artikel terblokir otomatis, penulis belum tahu.
Penyuntingan artikel terblokir
Pasca-sunting, artikel tidak mengalami perubahan pada tubuh. Hanya judul tulisan yang berubah seperti yang disebutkan dalam pesan. Padahal dalam judul itu  penulis sama sekali tidak ada penggunaan kata-kata kasar atau fitnah. Tetapi memang ada penggunaan 2 majas di dalamnya yaitu hiperbola (mati-matian) dan pars pro toto (SBY mewakili Demokrat). Bagian ini yang kemudian hilang.
Jenis penyuntingan ini menurut kategori yang berlaku sifatnya non-substantif. Berdasarkan fakta itu maka penulis pikir tak mengapa untuk mengulas soal ini dalam sebuah tulisan tersendiri.
Terkait pelanggaran  substantif, menurut dugaan penulis menjadi sebab satu artikel diturunkan paksa (take down) atau bahkan akun mengalami pemblokiran. Kedua hal itu belum pernah penulis alami sebelumnya dan mudah-mudahan tidak pernah terjadi. Kalau sekadar pencabutan label hal itu bukan sesuatu yang mesti dipikir berat.
Untuk menghindari potensi pelanggaran substantif, secara pribadi penulis menerapkan kontrol ketat terhadap sumber tulisan, foto ilustrasi, dan video yang dilekatkan.
Beberapa tulisan terpaksa penulis urungkan berkaitan dengan sumber tulisan yang meragukan. Pernah pula satu unggahan dihapus sukarela meskipun sudah mengudara. Bukan karena persoalan views, masalahnya ada pada informasi yang setelah dicek ulang ternyata kurang meyakinkan. Dan info itu merupakan tulang punggung tulisan, bukan sekadar penguat fakta.
Selain sumber tulisan, pemilihan kata juga sudah diupayakan untuk terutama tidak mengandung fitnah, hoaks dan ujaran kebencian. Sedapat mungkin.
Kata-kata seperti goblok, koplak, dungu, dan selebihnya dalam konteks ad hominem; juga yang menyangkut penyebutan kelompok kepentingan seperti cebong, kampret, atau kadrun, dipastikan tak masuk kamus penulisan artikel versi penulis. Pengecualian diterapkan jika secara obyektif ada masalah yang mengharuskan penggunaan kata-kata itu (pasal karet detected!).
Meskipun demikian, banyak hal terkait diksi dan atau penyusunan kalimat yang nyatanya cukup njlimet dan rentan menimbulkan perbedaan tafsir.
Kerawanan muncul pada sistem pendeteksian berbasis algoritma yang bisa memiliki kelemahan bawaan.
Ketika detektor menekan alarm waspada maka secara psikologis akan menimbulkan prasangka bahwa ada masalah yang sedang terjadi. Obyek temuan software detektor tadi selanjutnya ditangani secara manual oleh  komponen brainware dalam hal ini yaitu Admin. Bentuknya bisa berupa penyuntingan atau pemblokiran berdasarkan standard operating procedure (SOP) yang menjadi panduan.
Bedah judul artikel terblokir
Berikut adalah perubahan-perubahan yang terjadi pada artikel penulis yang terdeteksi sistem mengandung kata/ kalimat yang dilarang Kompasiana. Judul awal tulisan yaitu:
"Mati-matian Cari Perhatian, SBY Tak Membuat Jokowi Terkesan".
Setelah Admin menyunting, judul berubah menjadi:
"Menunggu Respons Jokowi tentang Kudeta Demokrat".
Ada poin yang penulis kurang srek dengan perubahan itu, kemudian diganti lagi menjadi:
"Jokowi Enggan Merespons Wacana Kudeta Demokrat".
Selain dugaan penggunaan majas hiperbola dan pars pro toto seperti disebutkan tadi, ketidakmunculan frasa dominan dalam tubuh artikel berpeluang pula menjadi sandungan yaitu tentang kudeta Demokrat.
Acuannya yaitu perubahan judul yang menjadi versi tayang setelah disunting Admin menambahkan frasa kudeta Demokrat. Judul itu selanjutnya lolos deteksi sistem tetapi ada perubahan rasa atau  persepsi keberpihakan pada penulis.
Judul semula menempatkan penulis sebagai pihak luar di antara SBY/ Demokrat yang berusaha memperoleh tanggapan dari Jokowi terkait kudeta Demokrat.
Dalam judul versi perubahan, posisi tersebut bergeser di mana penulis dikondisikan sedang menunggu Jokowi untuk memberi tanggapan atas wacana kudeta Demokrat. Hal ini berarti pula menempatkan penulis berada pada pihak Demokrat yang sedang menunggu tanggapan itu.
Oleh karena merasa tidak dalam posisi demikian maka penulis  menyunting lagi judul. Tekanan diletakkan pada kenyataan bahwa Jokowi memang belum memberikan tanggapan setelah sebulan kasus ini bergulir.  Judul "Jokowi Enggan Merespons Wacana Kudeta Demokrat" akhirnya tayang dan lolos sensor sistem deteksi.
Kesimpulan dan saran
Begitulah kurang lebih intisari dari kronologi dan mekanisme bagaimana proses penayangan sebuah artikel yang ditulis Kompasianer. Hal ini juga mengindikasikan bahwa pada tulisan yang di-take down setelah tayang itu agaknya terjadi karena secara sistem dia lolos tetapi kemudian menimbulkan persoalan di belakang.
Apakah kategori kanal berpengaruh terhadap mekanisme deteksi sistem? Sejauh ini penulis belum paham, tetapi memang harus diakui aspek ipoleksosbudhankamnasgor itu perlu jadi bahan pertimbangan juga.
Topik pendeteksian artikel secara sistemik ini dalam konteks user experience menurut penulis penting untuk diangkat sebagai bagian interaksi dalam komunitas berbasis platform; baik itu untuk sesama pengguna maupun bagi pengelola. S&K itu memang jelas tetapi tafsirnya bisa tergantung pada sudut pandang juga apalagi ketika melibatkan algoritma sistem yang berpotensi menjadi bumerang. Dalam konteks keterbukaan iklim demokrasi sekarang ini sangat disayangkan seandainya terjadi pembatasan berlebihan pada kebebasan warga mengungkapkan aspirasi.
Dengan input harian ribuan artikel Admin Kompasiana memang patut sedikit lega dengan adanya bantuan teknik digital untuk menyerok potensi munculnya masalah. Namun demikian penerapan teknologi seiring waktu perlu juga penyempurnaan agar tidak menjadi sumber kendala baru bagi penggunanya.
Bagi rekan Kompasianer yang belum pernah mengalami hal itu atau pernah mengalami namun memerlukan pembanding, tulisan ini semoga dapat memberikan gambaran. Mudah-mudahan bermanfaat.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H