Ada Andi Arief salah satunya di belakang isu kudeta di tubuh Demokrat. Kader senior Demokrat tersebut mengatakan bahwa Moeldoko mendapat restu Jokowi untuk "mengambil alih" kepemimpinan di partainya. Kepentingan yang menjadi alasan yaitu untuk menjadikan Demokrat sebagai  kendaraan politik menuju Pilpres 2024.
Secara kontekstual memang bisa dapet klik-nya. Moeldoko cukup dekat dengan Jokowi dan punya rekam jejak pernah berhasrat maju pilpres.
Menjelang masa-masa penentuan cawapres Jokowi dulu tahun 2019, nama Moeldoko menjadi salah satu yang masuk bursa. Kampanyenya cukup gencar meski sulit dilacak apakah itu disponsori Moeldoko sendiri ataukah oleh kalangan terdekatnya. Di Kompasiana pernah sering diulas sepak terjangnya oleh beberapa penulis; pada masa-masa penentuan cawapres itu saja.
Andi Arief (kompas.tv, 01/ 02/ 2021):
"Banyak yang bertanya siapa orang dekat Pak Jokowi yang mau mengambil alih kepemimpinan AHY di Demokrat, jawaban saya KSP Moeldoko. Kenapa AHY berkirim surat ke Pak Jokowi, karena saat mempersiapkan pengambilalihan menyatakan dapat restu Pak Jokowi."
Sukar dicerna kalau Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) yang menginisiasi wacana itu. Sejauh ini, dari gerak geriknya dalam  berpolitik, cara membuat pernyataan, atau gaya manuver; AHY kurang begitu meyakinkan untuk dapat menjadi penggagas ide-ide yang menyerempet isu sensitif.
Dari cara penyebutan nama secara langsung saja --Moeldoko dan Jokowi-- sudah kelihatan bukan gaya AHY. Jangankan AHY, SBY juga tidak begitu. Cenderung mlipir-mlipir dan jarang langsung frontal.
Kalau Andi Arief? Percaya. Kader Demokrat yang satu ini tak begitu peduli dengan sensitivitas seperti ini.
Misalnya kasus isu jenderal kardus dalam Pilpres 2019 pasca AHY tersingkir dari kandidat cawapres pendamping Prabowo. Siapa yang berani nekat menggelundungkan tema tersebut? Andi Arief!
Dalam hal keberanian Wasekjen Demokrat ini ada mirip-miripnya dengan gaya Fadli Zon di Gerindra, Fahri Hamzah, atau Adian Napitupulu; tidak ada rasa segan menantang wacana tabu.
Tentang kudeta di tubuh Demokrat yang dikatakannya, lebih banyak hal yang tidak masuk akal dibanding yang iya.
Pertama, Moeldoko adalah mantan Hanura yang segera cabut (hanya setahun) dari partai itu setelah menjabat KSP.
Tujuan atau alasan yang ia sampaikan kepada pimpinan partai, Wiranto, adalah agar bisa konsentrasi dengan jabatan yang dipercayakan Jokowi. Lalu sekarang saat periode kedua Jokowi masih panjang durasinya, apakah masuk akal Moeldoko nyambi kudeta di Demokrat?
Kalau Moeldoko punya rencana maju Pilpres tentunya lebih logis jika ia mendekati partai-partai besar dan pengusung petahana. Pilihan cukup banyak: ada PDIP, Golkar, atau Nasdem. Buang-buang tenaga kalau harus menjadi intruder di tubuh Demokrat yang gurem dan oposan. Andai berhasil pun hitungannya tetap saja rugi. Bonyok iya, maju pilpres kagak. Suara Demokrat terpaut jauh dari kebutuhan yang dipersyaratkan.
Kemudian yang kedua yaitu soal senioritas sesama militer. Jenderal Moeldoko (1981) jauh di bawah SBY (1973) dari segi angkatan  di AKABRI.
Demokrat begitu identik dengan keluarga SBY sehingga akan sulit ditembus siapa pun dan tentu tidak legitimate meski ada dukungan dari dalam. Anas Urbaningrum saja yang cukup mengakar bisa tersingkir apalagi figur lain yang numpang lewat. Faktor hubungan pribadi Moeldoko sebagai junior SBY tak bisa dikesampingkan begitu saja. Rasanya takkan cukup lancang Moeldoko melangkahi SBY untuk menyingkirkan anaknya, AHY, dari Demokrat.
Kemudian soal Jokowi yang dikatakan Demokrat merestui pengambilalihan secara paksa kepemimpinan AHY. Jika melihat agenda-agenda yang menjadi konsentrasi Jokowi akhir-akhir ini agaknya masalah politik internal Demokrat mustahil jadi prioritas. Covid-19 saja belum kelar lalu apa pentingnya kudeta Demokrat.
Jokowi pernah mengatakan ingin memperoleh dukungan mayoritas parlemen dan itu sudah diperoleh dengan bergabungnya Gerindra. Hal itu sudah terpenuhi dengan kurang lebih 80% total suara yang dimiliki petahana di Senayan.
Dengan penguasaan parlemen seperti itu akan kontraproduktif jika Jokowi masih berhasrat menambah lagi dengan mengakuisisi Demokrat. Kurang elok dan jadi aneh. Bukankah sejauh ini juga agenda-agenda politik Jokowi lancar-lancar saja?
RUU Ciptaker mulus. Pilkada kemarin acc. terlaksana meski pandemi. Pembubaran FPI juga tak banyak halangan. Demokrat tak cukup signifikan untuk diagendakan menjadi prioritas partai yang harus diambil alih.
Wacana kudeta Demokrat kelihatan lebih condong merupakan bagian permainan Demokrat sendiri. Setelah berbagai usaha mentok, plot wacana ini memang lumayan menjanjikan.
Buktinya sudah jelas, Demokrat mendapatkan iklan gratis lewat pembicaraan medsos dan pemberitaan media. Kreativitas seperti ini yang mungkin belum terpikirkan politisi oposan yang lain, misalnya PKS. Tak ada isu kudeta secara massif meski dulu terjadi konflik besar dengan Fahri Hamzah. Atau dulu ketika almarhum Yusuf Supendi masuk PDIP.
Demokrat tahu cara membuat pengungkit agar partai tetap mengapung dan tidak semakin tenggelam ke dasar apatisme publik. Sebagai partai yang tidak berbasis kader seperti PKS, kecerdasan membuat kreativitas politik adalah skill yang harus dimiliki orang-orang Demokrat.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H