Tujuan atau alasan yang ia sampaikan kepada pimpinan partai, Wiranto, adalah agar bisa konsentrasi dengan jabatan yang dipercayakan Jokowi. Lalu sekarang saat periode kedua Jokowi masih panjang durasinya, apakah masuk akal Moeldoko nyambi kudeta di Demokrat?
Kalau Moeldoko punya rencana maju Pilpres tentunya lebih logis jika ia mendekati partai-partai besar dan pengusung petahana. Pilihan cukup banyak: ada PDIP, Golkar, atau Nasdem. Buang-buang tenaga kalau harus menjadi intruder di tubuh Demokrat yang gurem dan oposan. Andai berhasil pun hitungannya tetap saja rugi. Bonyok iya, maju pilpres kagak. Suara Demokrat terpaut jauh dari kebutuhan yang dipersyaratkan.
Kemudian yang kedua yaitu soal senioritas sesama militer. Jenderal Moeldoko (1981) jauh di bawah SBY (1973) dari segi angkatan  di AKABRI.
Demokrat begitu identik dengan keluarga SBY sehingga akan sulit ditembus siapa pun dan tentu tidak legitimate meski ada dukungan dari dalam. Anas Urbaningrum saja yang cukup mengakar bisa tersingkir apalagi figur lain yang numpang lewat. Faktor hubungan pribadi Moeldoko sebagai junior SBY tak bisa dikesampingkan begitu saja. Rasanya takkan cukup lancang Moeldoko melangkahi SBY untuk menyingkirkan anaknya, AHY, dari Demokrat.
Kemudian soal Jokowi yang dikatakan Demokrat merestui pengambilalihan secara paksa kepemimpinan AHY. Jika melihat agenda-agenda yang menjadi konsentrasi Jokowi akhir-akhir ini agaknya masalah politik internal Demokrat mustahil jadi prioritas. Covid-19 saja belum kelar lalu apa pentingnya kudeta Demokrat.
Jokowi pernah mengatakan ingin memperoleh dukungan mayoritas parlemen dan itu sudah diperoleh dengan bergabungnya Gerindra. Hal itu sudah terpenuhi dengan kurang lebih 80% total suara yang dimiliki petahana di Senayan.
Dengan penguasaan parlemen seperti itu akan kontraproduktif jika Jokowi masih berhasrat menambah lagi dengan mengakuisisi Demokrat. Kurang elok dan jadi aneh. Bukankah sejauh ini juga agenda-agenda politik Jokowi lancar-lancar saja?
RUU Ciptaker mulus. Pilkada kemarin acc. terlaksana meski pandemi. Pembubaran FPI juga tak banyak halangan. Demokrat tak cukup signifikan untuk diagendakan menjadi prioritas partai yang harus diambil alih.
Wacana kudeta Demokrat kelihatan lebih condong merupakan bagian permainan Demokrat sendiri. Setelah berbagai usaha mentok, plot wacana ini memang lumayan menjanjikan.
Buktinya sudah jelas, Demokrat mendapatkan iklan gratis lewat pembicaraan medsos dan pemberitaan media. Kreativitas seperti ini yang mungkin belum terpikirkan politisi oposan yang lain, misalnya PKS. Tak ada isu kudeta secara massif meski dulu terjadi konflik besar dengan Fahri Hamzah. Atau dulu ketika almarhum Yusuf Supendi masuk PDIP.
Demokrat tahu cara membuat pengungkit agar partai tetap mengapung dan tidak semakin tenggelam ke dasar apatisme publik. Sebagai partai yang tidak berbasis kader seperti PKS, kecerdasan membuat kreativitas politik adalah skill yang harus dimiliki orang-orang Demokrat.***