Pemerintah China memperbolehkan kapal penjaga pantai untuk menembak kapal asing termasuk yang ada di wilayah laut yang mereka klaim. Kewenangan tersebut ditetapkan melalui undang-undang yang sudah disahkan Jumat 22/ 01/ 2021 oleh Komite Tetap Kongres Rakyat Nasional (kontan.co.id).
Dengan UU baru tersebut maka kapal penjaga pantai China punya lebih banyak wewenang. Personil bersenjata mereka boleh memeriksa dan menghancurkan struktur apa pun  --bangunan, kapal, atau properti lainnya-- yang memasuki perairan mereka.
Mengingat banyaknya wilayah konflik dengan negara lain di sejumlah kawasan laut sebenarnya wajar China memberlakukan UU penjaga pantainya. Wajar dalam arti merupakan konsekuensi logis dari kebijakan ekspansif lautnya saat ini termasuk doktrin Sembilan garis  putus-putus di Laut China Selatan.
Ekspansi di Laut China Selatan sudah terlalu jauh melebar sehingga menjorok ke beberapa wilayah negara ASEAN seperti Vietnam, Malaysia, Philipina, dan Brunai. Bahkan dengan Indonesia ada juga irisan di wilayah Zona Ekonomi Eksklusif yaitu di Laut Natuna Utara.
Laut Natuna itu kaya ikan. Banyak nelayan asing yang mencuri ikan di sana sementara kapal nelayan kita yang kecil-kecil tak berdaya. Aparat laut kita kerepotan menertibkan penjarahan laut di sana. Ribuan kapal asing mengincar potensi perikanan yang melimpah.
Kapal nelayan asing kerap juga mendapat perlindungan dari kapal pemerintah masing-masing. Upaya penangkapan kapal pencuri kadang harus melewati adu body kapal dulu dan pada momentum itu ukuran kapal menjadi sangat menentukan. Sudah berapa kasus kapal satgas laut mengalami insiden tabrakan yang disengaja.
China menganggap Laut Natuna adalah wilayah penangkapan ikan tradisional mereka sejak sebelum era modern. Meskipun sudah diputus bahwa klaim sepihak itu tidak sah lewat pengadilan internasional UNCLOS tetapi China bergeming. Sengketa laut terus berlanjut.
Melalui UU penjaga pantai yang baru maka posisi kapal-kapal nelayan Indonesia semakin terancam di Laut Natuna. Bukan saja rawan ditabrak oleh kapal pencuri yang lebih besar tetapi juga bisa ditembaki jika kebetulan sial bertemu coast guard China. GPS tentu ada, tetapi keselamatan pribadi tidak serta merta jadi jaminan keamanan di wilayah sengketa.
Pemerintah Indonesia harus secepatnya merespon UU penjaga pantai baru yang diterbitkan China. Tidak hanya sebatas tanggapan diplomatik tetapi juga kebijakan operasional di lapangan untuk melindungi wilayah dan nelayan kita di kawasan Laut Natuna Utara. Menlu Retno Marsudi sendiri tentunya berharap situasi di Natuna tidak bertambah buruk seperti yang pernah disampaikannya pada tahun lalu.
Menlu Retno Marsudi, 10/ 11/ 2020 (cnnindonesia.com):
"Indonesia berharap agar undang-undang ((UU coast guard China) itu tidak berdampak negatif bagi terwujudnya perdamaian dan stabilitas di kawasan LCS (Laut China Selatan)."Â
Bagaimana realisasi penerapan UU itu oleh China di Natuna belum terlihat karena sengketa laut dengan sejumlah negara skala proritasnya tentu lebih besar. Selain problem kebebasan bernavigasi di laut China Selatan yang ditentang AS dan sekutunya, China juga bermasalah dengan Jepang di Laut China Timur.
Meskipun demikian terlalu berbaik sangka bahwa coast guard China tidak akan menggunakan kekuatan bersenjata di Natuna adalah satu hal bodoh. Selain kewajiban negara untuk melindungi keselamatan warga, aspek dignity di perbatasan jangan diabaikan pula.
Angkatan Laut dan Bakamla Kementerian Kelautan harus sigap membaca situasi. Jangan sampai kapal pemerintah pun terusir dari gelanggang yang merupakan wilayah kita sendiri hanya karena lambat bereaksi atas perkembangan yang terjadi.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H