Namun sayangnya, di tengah perang melawan corona itu ternyata beberapa  pejabat pemerintah masih  kerap abai protap Covid-19. Ribuan korban belum cukup menyentuh walau sedikit empati  mereka; atau sedikit berpikir.
Di DKI yang kasusnya tertinggi se-Indonesia, Sekda Saefullah almarhum yang meninggal akibat Covid-19 sempat-sempatnya dilalukan di halaman balaikota. Katanya demi  memberikan penghormatan terakhir dan memenuhi adat ketimuran. Untuk ribuan korban corona --termasuk dokter-- beserta keluarganya yang warga biasa, hak memenuhi penghormatan dan adat ketimuran itu tidak berlaku; ini eksklusif Pemprov DKI.
Meski  penghormatan dikatakan sesuai protap nyatanya  jelas di video ada pelanggaran physical distancing. Pejabat dan pegawai pemprov berkerumun di beberapa spot tanpa mengindahkan risiko penularan.Â
Mengendalikan manusia yang pejabat saja sulit apalagi virus yang tidak sekolah. Dari sudut pandang ini kita maklum mengapa grafik Covid naik terus.
Kabarnya Wasmad minta maaf karena dangdutan itu pun tidak berizin lengkap. Belum ada penjelasan  apakah kader Golkar ini punya alibi adat ketimuran untuk membenarkan acara dangdutannya  itu.
Selain DKI dan Tegal masih banyak pejabat, Â atau mantan pejabat, juga petugas yang melanggar aturan dan prinsip penanganan wabah. Beritanya ada saja dan terus bermunculan.
Mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo mengadakan deklarasi KAMI berkali-kali tanpa begitu peduli protap pencegahan corona. Kerumunan massa begitu jelas  dan pemerintah seperti tak berbuat apa-apa.
Jika Pilkada 2020 jadi digelar kelihatannya pelanggaran akan terus  berulang dengan berjuta alasan:  sosialisasi, bagi sembako, temu kader, syukuran, dan lain-lain.
PNS, ASN, aparat, dan pejabat negara itu hidup dengan gaji negara. Mereka beruntung bisa menyelenggarakan keperluan hidup sehari-hari tanpa khawatir gajinya  terlambat atau disunat. Demikian pula politisi bermodal  yang punya tabungan banyak, atau  backing-nya kuat.
Kebanyakan warga mana bisa hidup begitu.