Ronald Koeman to Lionel Messi:
"Your privileges in the squad are over!"
Barcelona sudah tak nyaman. Rumah kedua Messi tersebut tak lagi mampu menahan sang megabintang untuk segera hengkang.
Persoalannya menumpuk. Kepergian Guardiola, perselisihan dengan Eric Abidal, ditinggal Neymar; hingga yang terparah ketika satu musim berlalu tanpa gelar. Tahun ini.Â
Drama kebobolan 8 gol lawan Bayern  kemarin  juga pasti membekas. Takkan pernah mudah terlupakan karena sudah menjadi sejarah.
Merasa tak ada lagi harapan, lewat faks Messi berkirim pesan kepada presiden klub. Tekad sudah bulat, memasuki bursa transfer musim panas ini ingin segera pamit meski harusnya tuntas 2021 nanti.
Quo vadis Messi?
Terserah nanti saja mau ke mana. Ada PSG Perancis, Manchester City Inggris, atau ke Inter Milan di Italia. ABC, asal bukan Barcelona. Dan yang sanggup bayar. Resesi pandemi peduli setan. Â
Sungguh-sungguhkah ia? Apakah sudah istikhoroh dulu? #ehh.
Membuat keputusan pada masa tantrum bisa berakibat buruk. Kariernya bisa terancam pudar seiring senjakala di Barcelona. Salah langkah bisa berujung petaka; gantung sepatu secara suul khotimah alias hangus di penghujung masa.
Barcelona hilang, dua dari tiga yang terkaya --PSG, Manchester City, dan Inter-- sudah terbilang.
Pembicaraan dengan mantan pelatih lama Barcelona, Pep Guardiola, membuka tabir teka teki langkah Messi selanjutnya. Pun isyarat tantangan Christiano Ronaldo 2018 lalu. Sang rival abadi yang mengundangnya melanjutkan laga pribadi di negeri pizza. Sudah menjadi rahasia warga bumi, rivalitas mereka yang melegenda itu. Maestro bola kiriman dari planet X, galaksi Y. Bukan asli sini.
Guardiola adalah sang mahaguru yang menemukan bakat terpendam La Pulga dan mengasahnya menjadi sihir yang menakjubkan. Berkat tangan dingin pelatih plontos itu Messi mampu menjangkau piala dengan tubuh yang terhitung di bawah rata-rata standar Eropa.
Catatannya sungguh ajaib.
"Duet" Josep Guardiola dan Lionel Messi menyumbang 13 trofi untuk Barca termasuk dua gelar Liga Champions. Dalam tempo 4 tahun berkat pola tiki taka mereka mengantarkan El Barca ke puncak kejayaan yang gilang gemilang. Sang superstar asal Argentina juga sangat  cemerlang dengan 3 torehan Ballon d'Or sebagai gelar pribadinya.
Saat ini Guardiola menukangi The Citizens. Ada pertimbangan Messi untuk reuni kembali sambil mengharap kembalinya masa-masa kejayaan. Tetapi Man City ada di Inggris yang pajaknya sundul langit. Kata pengamat Messi tidak suka gajinya dikutip tebal-tebal.
Ada baiknya jika hijrah ke Italia, ujar komentator yang lain. Agar bisa bertarung lawan CR7, Inter Milan digadang menjadi halte berikutnya bagi karier Messi. Tetapi apakah manajer Antonio Conte di sana cukup paham cara mengolah talenta alumni La Masia tersebut? Di situ masalahnya.
Passion mengejar prestasi head to head dengan Ronaldo memang penting. Akan tetapi di tangan pelatih dan klub yang salah permainan Messi justru bisa tambah bermasalah.
Jangan-jangan inilah akhir karier Messi
Messi (33) lebih muda dari Ronaldo (35), mestinya masih oke secara body. Masih fit.
Namun atmosfir di papan puncak bola dunia tidak semudah yang kita bayangkan. Ketangguhan mental dan psikis menjadi pertaruhan selain kebugaran onderdil luar. Berbeda dengan Ronaldo yang meninggalkan Madrid secara happy ending, Messi berada dalam situasi runyam bersama Barcelona saat ini.
Kerapnya Messi uring-uringan menjadi pertanyaan, apakah secara individu ia setangguh Ronaldo psikologinya? Ronaldo mampu tampil menawan baik di Inggris (MU), Real Madrid di Spanyol, dan saat ini bersama Juventus di Italia. Messi melulu ngendon di negeri matador. Mainnya "kurang jauh".
Dalam lingkup timnas Argentina Messi juga rentan hingga sempat pamit undur diri. Jiwa labilnya kambuh di bawah tuntutan membawa pulang Piala Dunia. Juga bayang-bayang legenda Si Tangan Tuhan, Maradona.
Jika sumber mata air masalah ada dalam dirinya maka ke mana pun Messi hijrah di situ pula muncul problem. Ketika energi negatif masih bercokol dalam raga semua hal bisa menjadi sumber penyakit.
Di tangan Guardiola dahulu, Messi bermain bak anak-anak bermain bola. Lepas, tanpa beban karena sang pelatih memberinya kebebasan. Seiring perjalanan waktu dengan tuntutan dan beban harapan yang menginjak pundak, Messi terbukti kian rapuh.
Ada baiknya --mungkin-- ia menenangkan diri dahulu; memikirkan kembali apa yang dibutuhkan nanti saat musim depan menjelang. Siapa tahu Pep Guardiola bukan jawabannya; dan ternyata isyarat tantangan Ronaldo berujung penyesalan. Siapa tahu malah justru Paris Saint Germain akan menjadi pelabuhan karier yang manis.
Atau barangkali Koeman ada benarnya juga, Messi harus lebih dewasa menghadapi kenyataan yang tak lagi 'fleksibel'. Selama ini keistimewaan yang diperoleh telah membuatnya kerdil secara mental.
Inilah yang dikatakan pelatih baru Barcelona, Ronald Koeman, kepada Lionel Messi menurut Diario Ole (metro.co.uk, 26/08/2020):
"Your privileges in the squad are over, you have to do everything for the team. 'I'm going to be inflexible, you have to think about the team".
Sangat jelas pesannya. Secara tersirat Koeman melihat Messi sebagai "masalah" jika tak mau berubah. Pelatih Belanda itu juga menjelaskan otoritasnya dengan tuntutan yang membuat emosi jiwa meledak. Apa yang dikatakannya terlalu pedas di telinga dan menghunjam di jiwa.
Pilihan Messi cuma satu sekarang, beradaptasi lagi; bersama Koeman di Barcelona atau dengan pelatih lain dan tim lain di klub yang baru.Â
Apa pun pilihannya kelak mudah-mudahan kita masih dapat menyaksikan episode berikutnya  the real personal el classico antara Messi vs. CR7. Jika tidak, mungkin kita perlu menunggu beberapa dekade lagi sampai lahir megabintang baru dari 'planet' lain.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H